Kamis, 19 November 2015

TEOLOGI ISLAM KONTEMPORER

TEOLOGI ISLAM KONTEMPORER



Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadis
Dosen Pengampu: Drs. H. Abdul Wahab Syakur M.Pd.I





Disusun Oleh :
1.   Rani Qoimatus Salafiyah                    : 1310210009
2.   Saidatun Ni’mah                                 : 1310210022




 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
  Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian teologi Islam kontemporer?
2.    Siapa tokoh teologi Islam kontemporer dan bagaimana pmikirannya?















BAB II
PEMBAHASAN
                                                                                  
A.  Pengertian Teologi Islam Kontemporer
Dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa kata aliran/ teologi berarti haluan, pendapat, paham. Sedangkan kontemporer adalah pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, masa kini, dewasa ini.[1] Sedangkan pengertian teologi islam secara terminologi menurut Muhammad Abduh :
التوحيد علم يبحث عن وجود الله وما يجب ان يثبت له من صفاته وما يجوز ان يوصف به وما يجب ان ينفى عنه وعن الرسل لاثبات رسالتهم ان يكونوا عليهم ومما يجوز ان ينسب اليهم وما يمتنع ان يلحق بهم.
“ tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka”.[2]

B.  Tokoh Teologi Islam Kontemporer dan Pemikirannya
1.    Nurcholis madjid
 Riwayat Singkat Nurcholis Madjid:
Prof. DR Nurcholis Madjid yang populer dipanggil cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan dan budayawan Indonesia. Ayahnya, KH. Abdul Madjid dikenal dengan pendukung Masyumi. Setelah melalui pendidikian di berbagai pesantren termasuk pesantren Gontor Ponorogo beliau menempuh studi kesarjanaan di IAIN Jakarta (1961 sampai 1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Cikago Amerika Serikat (1978-1984) dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
Beliau berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. beliaulah yang sering diminta nasihat oleh presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan  Mei 1998 di Jakarta setelah indonesia dilanda krisis yang hebat. Atas saran beliau, akhirnya presiden Soeharto Mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih parah.

Pemikiran Nurcholis Madjid:
a.    Teologi Pluralisme
Pluralisme Nurcholis Madjid berdiri tegak atas pundamen ajaran dan nilai etis Al-Qur’an seutuhnya. Teologi ini berangkat dari kesadaran kemajemukan atau pluralitas umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Tegasnya bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling mengenal dan  menghargai. Bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti diterima sebagai kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran Allah.
Pemahaman yang didasarkan atas kesadaran kemajemukan secara sosial, religi  yang tidak mungkin ditolak, ini lah yang oleh Nurcholis Madjid disebut pluralisme. Yaitu sistem inilah yang memandang secara positif optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untuk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan.
b.    Kalam Masa Depan
Ada beberapa hal yang secara tentatif meskipun dengan cara yang agak arbiter, kurang sistematis dapat digunakan sebagai titik tolak tingkat awal bagi pengembangan metode ilmu kalam.
1)      Untuk menjaga autentisitas
2)      Untuk memperoleh relevansi dan kreatifitas yang optimal
3)      Secara tersendiri amat diperlukan memahami dengan tepat dan esensial arti zaman modern dan modernitas
4)      Salah satu hasil yang dituju ialah ditemukannya hubungan organik yang mantap antar iptek dan sistem keimanan Islam.
5)      Di satu segi  iptek modern memberi umat manusia kemugkinan besar memperoleh peningkatan hidup meterial yang luar biasa.
6)      Zaman modern tidak akan merubah fitrah manusia yang memerlukan bimbingan Ilahi bagi kelangsungan hidupnya.


c.  Monosentrisme dan Polisentrisme
Monosentrisme adalah paham serba satu dalam pusat kegiatan. Sedangkan Polisetrisme mengenal adanya banyak pusat. Tetapi kedua istilah itu tidak sejajar dengan pengertian “kesatuan” dan “federal” dalam system kenegaraan. Sebab dalam Negara kesatuan pun Polisetrisme tetap dimungkinkan. Polisetrisme menyangkut kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat politik. Bagi kita, Polisentrisme adalah berdasarkan makna filsafat Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda tapi bersatu, atau persatuan dalam perbedaan.[3]

2.    Harun Nasution
Riwayat Singkat Harun Nasution:
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, beliau meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962.
Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.

Pemikiran Harun Nasution:
a.    Peranan Akal        
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
b. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia(juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[4]
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pengertian teologi islam secara menurut Muhammad Abduh :
التوحيد علم يبحث عن وجود الله وما يجب ان يثبت له من صفاته وما يجوز ان يوصف به وما يجب ان ينفى عنه وعن الرسل لاثبات رسالتهم ان يكونوا عليهم ومما يجوز ان ينسب اليهم وما يمتنع ان يلحق بهم.
“ tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka”.
Tokoh teologi islam kontemporer dan pemikirannya:
1.    Pemikiran Nurcholis Madjid:
a.         Teologi pluralisme
b.        Kalam masa depan
c.         Monosentrisme dan Polisentrisme
2.    Pemikiran Harun Nasution:
a.         Peranan Akal
b.         Pembaharuan teologi
c.         Hubungan akal dan wahyu     

B.  Saran
Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang  lebih baik.






DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
Abdullah, Amin. Filsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Nurcholis Madjid, Islam Kerakyatan dan keindonesiaanBandung:  Mizan. 1994.
Harun Nasution. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2003.



[1] Amin Abdullah, Filsafah Kalam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm.89
[2] Muhammad Abduh, Risalah tauhid, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm 36
[3] Nurcholis Madjid, Islam Kerakyatan dan keindonesiaan., Bandung,  Mizan, 1994, hlm. 180
[4] Harun Nasution, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003, hlm. 243

Tidak ada komentar:

Posting Komentar