Kamis, 19 November 2015

isu-isu islam kontemporer

BAB I
PENDAHULUAN
                                                                                         
A. Latar Belakang
Asumsi pedagogies dibenarkan bahwa terjadinya kesalahan atau ketimpangan dalam kehidupan sosial disebabkan adanya kurang optimalnya prosses pembelajaran di sekolah. Pendidikan Islam sebagai pendidikan yang memiliki peranan sangat kompleks dan menyimpan berbagai target atau pesan yang tidak hanya mengembangkan kualitas kognitif (intelektual) saja tetapi juga harus mengembangkan kualitas moral kepribadian (affektif) serta mengembangkan ketrampilan mekanik (psikomotorik) merupakan bentuk tanggung jawab atau tantangan yang harus dijawab melalui pembelajaran. Realitas dalam kehidupan para siswa (remaja) mudah sekali terjadi tawuran antarpelajar di Indonesia yang jika dirunut disebabkan hanya persoalan ringan atau sepele, tetapi realitas tersebut sudah dapat dikatakan berada pada tahap yang menghawatirkan dan telah memakan banyak korban jiwa para pelajar diantara mereka bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaan tidak bersalah dan berdosa. Penyelesaian masalah itu memang harus dilakukan sinergis, yaitu me;libatkan banyak elemen, tetapi dalam pembelajaran perlu juga ada inovasi agar pembelajaran bias secara optimal mengembangkan potensi siswa secara utuh dan komprehensif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana pembelajaran kontemporer dalam pendidikan agama Islam?
  2. Bagaimana pemikiran Islam kontemporer?
  3. Apa saja masalah-masalah pemikiran politik Islam kontemporer?
  4. Bagaimana liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam saat ini?





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembelajaran Kontemporer dalam Pendidikan Agama Islam
            Pembelajaran kontemporer perlu diawali dari asumsi tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan taksonomi, artinya apakah pendidikan Islam selalu relevan dengan taksonomi pendidikan yang meliputi kognitif, affektif, dan psikomotorik. Ada kesan sementara bahwa pendidikan Islam tidak memiliki potensi atau aspek keterampilan, sehingga pendidikan Islam melahirkan pemahaman verbalis. Untuk memperkecil kelemahan itu maka perlu dilakukan pembelajaran kontemporer dalam pendidikan agama Islam.
            Pendidikan Agama Islam memiliki kegunaan atau manfaat yang sangat besar dalam proses membina dan membimbing mahasiswa, sehingga pendidikan Islam perlu melakukan berbagai inovasi pembelajaran yaitu upaya pembelajaranyang lebih menitik beratkan potensi siswa agar mahasiswa benar- benar memiliki pengetahuan ilmu keislaman secara uth dan komprehensif. Pembelajaran teori kontemporer adalah pembelajaran berdasarkan teori belajar kontruktivisme. Pembelajaran berfungsi membekali kemampuan siswa mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan dalam belajar. Sesuai dengan prinsip belajar teori kontruktivisme, maka dalam pembelajarannya nampak ada pergeseran fungsi guru dan buku sumber sebagai buku informasi. Guru lebih berfungsi membekali kemampuan siswa dalam menyeleksi informasi yang dibutuhkan.[1]

B. Pemikiran Islam Kontemporer
            Gagasan untuk mengkaji Islam sebagi nilai alternatif baik dalam perspektif interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan Islam memberikan solusi baru kepadatemuan-temuan di semua dimensi kehidupan akhir- akhir ini semakin merebak luas. Penguasaan lebih mendalan mengenai wawasan pemikiran secara filosofis, terutama penjelajahan intelektual terhadap gagasan-gagasan berpikir Barat yang seakan tak terbendung lagi datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai sejak abad ke sembilan belas, dan dipenghujung abad ke dua puluh sertamemasuki abad ke dua puluh satu, pemikir-pemikir muslim sedang bergelut kuat untuk menemukan jati diri pemikirannya agar bias memanfaatkan ide-ide yang merayap tak terhingga sebagai akibat modernisasi berpikir radikal yang diterapkan Barat.
            Indonesia menjadi semacam studi pendahulu bagi konsep-konsep pemikiran kontemporer. Dalam penulisan ini, dengan beberapa alasan yang lebih bersifat subyektif dari penulis yaitu:
  1. Pemikir-pemikir kontemporer Indonesia yang mempunyai kapasitas intelektual itu, lebih mencurahkan secara praktis bagi penerapan ide-idenya dan ini lebih diketahui oleh penulis cukup lama daripada para pemikir kontemporer lainnya di dunia islam.
  2. Indonesia saat ini mempunyai prospek yang bisa diperhitungkan sebagai penggagas bagi sentralisasi kebangkitan dunia Islam secara kontinue  dan militant terutama akar-akar yang kuat itu dilihat dari segi kuantitatif dalam gerakan kebangkitan Islam yang dimulai dari tingkat terendah.
  3. Pengkajian terhadap teks-teks klasik saat ini berkembang dengan pesat. Bukan hanya dimulai dari akar-akar tradisional pesantren, tapi sudah merambah lebih jauh dan meluas.
  4. Munculnya nuansa pengkajian Islam dalam bentuk dialog terbuka baik dalam forum-forum ilmiah yang mengundang pakar-pakar pemikiran di dunia Islam. Ini dianggap sebagai trend baru bagi peluasan keterbukaan wawasan pemikiran di Indonesia yang sebelumnya terasa masih asing bahkan agak tabu barangkali.
  5. Munculnya sejumlah jurnal-jurnal yang khas berkarakter pengkajian Islam secara agak mendalam.[2]

C. Masalah-masalah Pemikiran Politik Islam Kontemporer
            Bagi mayoritas Barat, isu utama dewasa ini adalah hubungan Islam dengan demokrasi demokrasi liberal dan tatanan internasional. Banyak muslim yang berpikir bahwa implementasi keadilan termasuk aturan-aturan syariat yang spesifik sebagai program yang lebih penting. Prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan pemerintahan berdasarkan hukum didukung oleh mayoritas besar pemikir Islam, baik fundamentalis maupun modernis, namun hanya dalam pengertian yang sangat umum.
Masalah utama dalam pemikiran politik Islam adalah:
  1. Di balik penampilan umum terdapat fakta yang sederhana tetapi mendasar, yakni bahwa muslim sebagai umat  Islam mempunyai titik tolak yang berbeda dari kalangan liberal Barat. Pada dasarnya mereka tidak humanis, maksudnya bagi sekelompok muslim yang paling liberal dan terbaratkan, seseorang sah dianggap sebagai individu hanya jika ia muslim, atau penganut agama monoteis lainnya yang memiliki hokum moral yang diwahyukan. Hingga satu atau dua abad silam, hal yang sama terjadi diantara penduduk Barat Kristen di sana, Kristen menjadi prioritas. Hal ini secara fundamental mengubah persepsi seseorang tentang kewarganegaraan.
  2. Apa yang paling penting bagi seorang muslim dalam kedudukannya sebagi seorang muslim adalah bahwa hokum Tuhan harus dijalankan oleh dirinya dan sebisa mungkin oleh yang lainnya. Bagaimana cara mencapainya adalah no,or dua. Sikap ini memunculkan rangkaian prioritas politik yang berbeda-beda. Hal ini berarti bahwa hak asasi manusia, kebebasan, pemerintahan berdasarkan hokum, dan prosedur demokrasi, betapapun pentingnya dianggap nomor dua.
  3. Yakni bahwa sejarah politik Islam didominasi oleh tradisi pemerintahan dinastik-monarkis, baik dalam teori maupun praktik, yang dibatasi oleh syariat.
Berbagai bentuk kediktatoran tidak disangkal oleh nilai-nilai yang dominant di banyak budaya politik muslim selama tidak melanggar nilai-nilai Islam yang mendasar. Penting juga untuk dicatat bahwa sangat berbeda dari arus utama budaya politik, khususnya kalangan fundamentalis menekankan kepemimpinan di samping syura. Secara umum, semakin radikal kelompoknya, semakin sentral figure pemimpinnya. Orang seperti itu biasanya seorang pemimpin agama sekaligus politik. Kecenderungan ini sekali lagi memunculkan unsure monarki dalam budaya Islam, yaitu keyakinan bahwa individu tertentu (yang disamakan dengan Muhammad, kendati berstatus lebih rendah) kadang-kadang mendapat ilham untuk memimpin umat.[3]
D. Liberalisasi Pandangan terhadap Ajaran-ajaran Islam saat ini
            Jika kita telah sampai pada keputusan untuk melaksanakan pembaruan di kalangan umat, dari manakah kita hendak memulainya? Berkaitan dengan masalah ini, dapatlah dikemukakan sebuah ungkapan Andre Beaufre (ahli strategi militer perancis, 1902-1975): our traditional lines of thought must go overboard, for it is now far more important to be able look a head than to have large scale of force whose effectiveness is problematical.” (garis-garis pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh sebab sekarang ini jauh lebih penting memiliki kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai kekuatan dengan ukuran besar yang daya gunanya masih harus dipersoalkan). Peringatan bahwa suatu kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar menegaskan lebih pentingnya dinamika ketimbang kuantitas. Sudah barang tentu yang paling baik adalah kombinasi keduanya. Namun jika tidak mungkin, pilihan harus dijatuhkan pada salah satu dari keduanya, dan itu haruslah dinamika. Dari ungkapan tersebut, kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lain erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Orientasi pada masa lampau dan nostalgia yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenal pada ajaran-ajaran dan pandanagan-pandanagan Islam yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut prose-proses lainnya:
  1. Sekularisasi
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan pandangan dunia baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan sebuah agama baru. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam akibat perjalanan sejarahnya sendiri tidak sanggup lagi membedakan , diantara nilai-nilai yang disangka islami, mana yang transcendental dan mana yang transporal.
  1. Kebebasan berpikir
Seharusnya kita mempunyai kemantapan dan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide betapapun aneh di telinga, haruslah mendapat jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang bahwa pikiran-pikiran dan ide-ide yang semula umumnya diduga salah dan palsu ternayata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman dari setiap gerakan pembaruan, baik perseorangan maupun organisasi.
            Karena tidak adanya pikiran-pikiran yang segar, kita telah kehilangan apa yang disebut sebagai daya dobrak psikologis, sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik di bidang ekonomi, politik, maupun social. Walaupun begitu, tetap harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan problem-problem itu dengan sebaik-baiknya.
  1. Idea of progress dan sikap terbuka
Sebenarnya jika seorang muslim benar-benar konsisten dengan ajaran-ajarannya, nilai “idea of progress” (gagasan tentang kemajuan) sebagaimana nilai-nilai kebenaran lainnya, tidak perlu lagi dikemukakan sebab sebenarnya telah ada padanya.
            Gagasan tentang kemajuan bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan.
            Oleh sebab itu, salah satu manifestasi adanya gagasan tentang kemajuan ini ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarah. Maka, tidak perlu lagi ada kekhawatiran akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata nilai duniawi manusia. Sebetulnya, sikap rasioner dan tertutup muncul dari rasa pesimis terhadap sejarah.
            Oleh karena itu, konsistensi terhadap gagasankemajuan ialah sebuah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nili-nilai (duniawi) dari mana saja asalkan mengandung kebenaran. Jadi, sejalan dengan kebebasan berpikir tersebut, kita harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spectrum yang seluas mungkin, kemudian memilih diantaranya mana yang menuntut ukuran-ukuran obyektif, mengandung kebenaran.[4]
 BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembelajaran kontemporer perlu diawali dari asumsi tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan taksonomi, artinya apakah pendidikan Islam selalu relevan dengan taksonomi pendidikan yang meliputi kognitif, affektif, dan psikomotorik. Ada kesan sementara bahwa pendidikan Islam tidak memiliki potensi atau aspek keterampilan, sehingga pendidikan Islam melahirkan pemahaman verbalis.
Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia menjadi semacam studi pendahulu bagi konsep-konsep pemikiran kontemporer. Dalam penulisan ini, dengan beberapa alasan yang lebih bersifat subyektif dari penulis yaitu: pemikir-pemikir kontemporer Indonesia yang mempunyai kapasitas intelektual,. Indonesia saat ini mempunyai prospek yang bisa diperhitungkan sebagai penggagas bagisentralisasi kebangkitan dunia islam, pengkajian terhadap teks-teks klasik saat ini berkembang dengan pesat, munculnya nuansa pengkajian Islam dalam bentuk dialog terbuka, munculnya sejumlah jurnal-jurnal yang khas berkarakter pengkajian Islam secara agak mendalam.
            Orientasi pada masa lampau dan nostalgia yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses ini menyangkut prose-proses lainnya, yaitu: sekularisasi, kebebasan berfikir, idea of progress dan sikap terbuka.

B. Saran
Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA

Saekhan Muchith. Issu-issu Kontemporer dalam Pendidikan Islam. Kudus: Buku Darus. 2009.
Abdul Sani. Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1998.
Antony Black. Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2006.
Ulil Abshar. Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina. 2003.



[1] Saekhan Muchith, Issu-issu Kontemporer dalam Pendidikan Islam, Kudus, Buku Darus, 2009, hlm. 68-69
[2] Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta, Raja grafindo Persada, 1998, hlm. 235-238
[3] Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 610-613
[4] Ulil Abshar, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta, Paramadina, 2003, hlm. 487-491

Tidak ada komentar:

Posting Komentar