BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Good Governance merupakan istilah
dalam ilmu politik yang baru muncul
sekitar awal tahun 1990an. Namun, bila istilah ini
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
dengan pemerintahan yang baik, atau bersih, atau bisa juga dengan kata
sifat lain seperti berwibawa dan bertanggungjawab, maka pada hakekatnya
istilah ini bukanlah baru. Konsep dan
maknanya sudah ada sejak adanya sistem pemerintahan, baik klasik maupun modern.
Pada masa Republiknya Plato serta Madinahnya Nabi
Muhammad SAW, maupun sejak munculnya khalifah sesudah Nabi SAW, serta
kerajaan-kerajaan dalam Islam ataupun non-Islam, hingga lahirnya negara bangsa,
ide akan perlunya mewujudkan pemerintahan yang beradab senantiasa mewarnai
tulisan, dokumen serta konstitusi setiap negara atau kerajaan.
Makalah ini akan
membahas tentang pemerintahan yang baik dalam pandangan Islam. Pertanyaannya kemudian,
bagaimanakah konsep yang ditemukan dalam al-Qur'an dan Sunnah mengenai
pemerintahan yang baik itu, yang sekarang dikenal dengan istilah Good
Governance? Bagaimanakah amanah serta praktek Nabi SAW tentang sistem
pemerintahan Islam itu?
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana konsep dan sistem pemerintahan dalam sejarah islam?
- Bagaimana Good Governance dalam islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dan Sistem Pemerintahan dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah Islam, kita kenal adanya proses pencapaian
kekuasaan dalam pemerintahan Islam sejak berdirinya. Kekuasaan ini ditemukan di
seluruh wilayah Islam prakolonial, yang pemerintahannya mandiri, memiliki
kekuatan militer, yang dikaitkan dengan dakwah Islamiyah (A.G.Abdullah, 1986, p.
41-43). Sekalipun kekuasaan umum seperti konsep Montesqui belum ditemukan di awal-awal kekuasaan Islam, indikasi pemaknaan ke arah sistem itu sudah ada sepanjang sejarah
Islam. Dalam sejarah Islam, dikenal dengan Majelis Syura atau Majelis
Perwakilan yang dilakukan dengan pemilihan dan menyerahkan pelaksanaan
kekuasaan hukum kepada lembaga ini. Bahkan kekuasaan legislatif dalam sistem
pemerintahan merupakan bagian terpenting dalam kekuasaan umum pada Negara. (Aliyah,2004, p. 47).
Sebab lembaga inilah yang melakukan penetapan perundang-undangan dan berbagai
hukum yang mengatur urusan negara. Lebih lanjut, Aliyah mengatakan bahwa
kekuasaan legislatif dalam Islam, sebagai pendapat yang kuat dalam fikih Islam
terdapat dua arah pandangan dalam penentuannya. Pertama, mengikat
penentuan kekuasaan dengan makna yang
dimaksudkan oleh syariat (hukum baru atau penjelasan hukum yang sudah ada).
Kedua, mengikatnya dengan makna kepemimpinan. Yang pertama adalah hak Allah,
karena Dialah yang menentukan hukum baru dengan apa yang diturunkannya dalam
al-Qur'an, apa yang ditetapkan Rasul-Nya, dan apa yang dibangun berdasarkan
dalil. Dengan makna ini, tiada yang berhak menentukan hukum melainkan Allah
SWT.
Adapun yang berkaitan dengan penjelasan hukum yang telah
ada, Nabi SAW serta Sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan mujtahid sesudahnya
telah menunjukkan hasil istinbath hukum. Mereka itu tidak menentukan hukum baru,
tetapi hanya menyimpulkan
(menkodifikasikan) hukum dari nash-nash al-Qur'an atau Sunnah dan dari
apa yang ditetapkan oleh Pembuat syariat (Allah dan Rasul-Nya), tentang dalil
serta apa yang ditentukan oleh kaidah-kaidah umum.
Demikian pula dalam makna kedua, yaitu kepemimpinan,
hanya Allah SWT-lah sebagai penentu hukum tertinggi di dalam negara Islam.
Kepemimpinan itu mencerminkan substansi syariat Islam yang harus dihormati dan
diterapkan di Negara Islam.[1]
Al-Ghazali menjelaskan bahwa syarat kepala negara itu
meliputi: intelektualitas, akhlak, dan
kemampuan fisik, yang dirangkum sebagai berikut:
1.
menjauhi kezaliman dengan dua jalan: mencari mahabbah Allah serta
berbuat adil kepada rakyatnya
2. menyamakan di antara individu tanpa diskriminasi
3. bersih dari aib dan dosa
4. bekerja menurut hati nurani, kecerdasan emosi dan
akalnya
5. menyatukan kerja antara tentara, harta, dan agama,
agar sinergik
6. hendaknya mengurangi lawan
7. meneladani cara pemerintahan penguasa sebelumnya
8. Tidak beriteraksi dengan orang yang bejat dan jahat
agar menghindari pengaruhnya
9. menjaga hukum dan melaksanakannya.
B. Good Governance dalam Islam
Melihat konsep Good Governance seperti yang
sering dikemukakan oleh para ahli dalam bidang ilmu politik dan
administrasi publik, maka dapat kita lihat relevansinya dalam hal tema yang
dipakai dalam literatur Islam. Nabi SAW umpamanya sejak dini mengajarkan
pentingnya ke-jujuran, memenuhi janji dan melaksanakan amanah. Salah satu
hadis Nabi SAW yang sangat populer adalah: Ciri-ciri orang munafik itu ada
tiga: Apabiia berbicara selalu penuh kebohongan, apabila berjanji selalu
ingkar, dan apabila dipercayai selalu khianat. Lebih jauh lagi Nabi SAW
memberikan contoh kepemimpinan: yaitu, shiddiq, istiqomah, fathanah, amanah,
dan tabligh.
Islam sebagai agama yang kaya akan nilai-nilai
memberikan pedoman dalam perwujudan sistem pemerintahan yang baik, agar
kesejahteraan terwujud dengan baik, setidaknya ada tiga pilar dalam mewujudkan
kepemerintahan yang baik yakni transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
(Fawaid : 2010).
1.
Transparansi
Transparansi ini diwujudkan dengan
memberikan akses yang terbuka ke semua kalangan dalam setiap prosesnya. Dalam
terminologi agama, transparansi ini disetarakan dengan kejujuran. Kejujuran
merupakan pilar penting dalam terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik.
Pemimpin tidak jujur dan bahkan kerap memanipulasi warganya, begitu pula
sebaliknya. Warga tidak jujur, bahkan pada dirinya, sehingga ia tidak kuasa
menyampaikan keinginannya pada penguasa menyangkut hak dan kewajibannya. Allah
berfirman:
“Wahai orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar dan
jujur.” (QS. At-Taubah [9]: 119)
2.
Akuntable
Selain transparan dan jujur, pilar lainnya adalah
akuntabel. Dalam bahasa agama, ini terkait amanat, setia, dan tepat janji (al-amanah
wa al-wafa’ bi al-‘ahdi). Orang yang mengedepankan transparansi dan jujur
dalam tingkah lakunya, biasanya akan mudah dipercaya, dan dipastikan setia dan
tepat janji. Adalah umat manusia yang ditahbiskan menjadi khalifah di
muka bumi ini memiliki tanggung jawab untuk mengelola kehidupan. Bentuk
tanggung jawabnya tentu saja beragam, dan sangat bergantung dengan peran yang
dilakoninya, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah swt. dalam suatu surat al-Qur’an
al-Karim;
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa’ [4]:
58).
Salah bentuk wujud tanggung jawab itu adalah setia dan memegang
teguh janji, baik itu janji setia antara dirinya dengan Tuhannya maupun antara
dirinya dan sesamanya. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang yang beriman, penuhilah aqad-aqadmu…” (QS.
Al-Maidah [5]: 1)
3. Partisipasi
Pilar selanjutnya adalah partisipasi, yang dimaksud disini
adalah kebersamaan para pelaku, termasuk kalangan marginal dan perempuan untuk
secara gotong-royong membicarakan, merencanakan, dan membuat kebijakan
pengelolaan sumber daya publik serta mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Terminolongi ini dalam bahasa agama dikenal dengan prinsip at-ta’awun
(gotong-royong). Pilar ini penting karena betapa pun individu-individu telah
memegangi sifat jujur, bertanggung jawab, dan adil, namun tanpa dibarengi
dengan semangat kerja sama dan kooperasi, maka untuk menggapai kebaikan bersama
menjadi demikian sulit. Dalam hal, ini gotong-royong menjadi bagian dari upaya
konsolidasi dan penguatan komunitas untuk melapangkan cita-citanya. Tentu saja
kerja sama itu ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Dalam konteks ini, Allah
SWT berfirman:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran….” (QS. Al-Maidah [5]: 2)
Prinsip-prinsip di atas seharusnya ditopang dengan i’tikad
pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum dengan asas keadilan untuk sesama.
Pada saat yang sama, ini juga disertai pemihakan pemerintah pada kepentingan
masyarakat dalam segala bentuk kebijaksanaannya. Potret ini merupakan ideal
yang dikehendaki Islam dalam apa yang disebut dengan predikat umat terbaik seperti
yang diterangkan dalam surat
Ali ‘Imran ayat 110:
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali ‘Imran [3]: 110).
Pada tataran praktis, sebagai sebagai bentuk interaksi sosial
politik dalam proses pemerintahan yang lebih demokratis, partisipatif,
transparan dan akuntabel, Good Governance ini semestinya dimulai dengan
aktivitas saling berbagi informasi, keahlian dan sumber-sumber lain yang
dibutuhkan aktor kebijakan dalam proses kebijakan (formulasi, omplementasi dan
evaluasi kebijakan) (Imanulhaq Faqieh : 2013). Aktor kebijakan yang dimaksud di
sini adalah Pemerintah, Swasta, Legislatif, LSM dan Masyarakat Madani lainnya.
Akhirnya mutu produk dari proses kebijakan tersebut lebih mendekati keinginan
dan kepentingan bersama. Saatnya memaknai silaturahmi diantara elemen negara,
sehingga pengelolaan negara tidak terjadi tumpang tindih dan tidak berorientasi
pada “keuntungan” sekolompok masyarakat tapi mampu menyentuh seluruh lapisan
masyarakat sesuai amanat UUD 1945. Bukankah silaturahmi, sesuai sabda Nabi, “
akan memberi efek kemakmuran dan menhantarkan pada kejayaan, man ahabba
an yubsatho lahu fi rizqihi wa yunsya’a lahu fi atsari fal yashil rahimahu”. Mekanisme
silaturahmi yang baik akan melahirkan proses musyawarah yang efektif dan
berujung pada keputusan yang berlandaskan konsensus bersama.[2]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sejarah Islam, dikenal dengan Majelis Syura atau
Majelis Perwakilan yang dilakukan dengan pemilihan dan menyerahkan pelaksanaan
kekuasaan hukum kepada lembaga ini. Bahkan kekuasaan legislatif dalam sistem
pemerintahan merupakan bagian terpenting dalam kekuasaan umum pada Negara. (Aliyah,2004, p. 47).
Sebab lembaga inilah yang melakukan penetapan perundang-undangan dan berbagai
hukum yang mengatur urusan Negara.
Nabi SAW umpamanya sejak dini mengajarkan pentingnya
ke-jujuran, memenuhi janji dan melaksanakan amanah. Salah satu hadis Nabi
SAW yang sangat populer adalah: Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Apabiia
berbicara selalu penuh kebohongan, apabila berjanji selalu ingkar, dan apabila
dipercayai selalu khianat. Lebih jauh lagi Nabi SAW memberikan contoh
kepemimpinan: yaitu, shiddiq, istiqomah, fathanah, amanah, dan tabligh.
Islam sebagai agama yang kaya akan nilai-nilai
memberikan pedoman dalam perwujudan sistem pemerintahan yang baik, agar
kesejahteraan terwujud dengan baik, setidaknya ada tiga pilar dalam mewujudkan
kepemerintahan yang baik yakni transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
(Fawaid : 2010).
B. Saran
Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat memberikan
manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. Islam, Negara
dan Civil SocietY. Jakarta :
Paramadina. 2005.
http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/08/islam-dan-good-governance-memaknai-silaturahmi-dalam-pengelolaan-negara-549278.html
diakses tanggal 29 November 2013 jam 11.10.
[1] Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam, Negara dan Civil
Society, Jakarta ,
Paramadina, 2005, hlm. 333-334
[2] http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/08/islam-dan-good-governance-memaknai-silaturahmi-dalam-pengelolaan-negara-549278.html
diakses tanggal 29 november jam 11.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar