Kamis, 19 November 2015

good governance dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Good     Governance    merupakan      istilah  dalam   ilmu   politik yang   baru muncul  sekitar   awal tahun   1990an. Namun, bila istilah ini diterjemahkan ke dalam   Bahasa Indonesia dengan pemerintahan yang baik, atau bersih, atau bisa juga dengan   kata  sifat lain seperti berwibawa dan bertanggungjawab, maka pada hakekatnya istilah  ini bukanlah baru. Konsep dan maknanya sudah ada sejak adanya sistem pemerintahan, baik klasik maupun modern.
Pada masa Republiknya Plato serta Madinahnya Nabi Muhammad SAW, maupun sejak munculnya khalifah sesudah Nabi SAW, serta kerajaan-kerajaan dalam Islam ataupun non-Islam, hingga lahirnya negara bangsa, ide akan perlunya mewujudkan pemerintahan yang beradab senantiasa  mewarnai  tulisan, dokumen serta konstitusi setiap negara atau kerajaan.
Makalah ini   akan membahas tentang pemerintahan yang baik dalam pandangan Islam. Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah konsep yang ditemukan dalam al-Qur'an dan Sunnah mengenai pemerintahan yang baik itu, yang sekarang dikenal dengan istilah Good Governance? Bagaimanakah amanah serta praktek Nabi SAW tentang sistem pemerintahan Islam itu?

 B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana konsep dan sistem pemerintahan dalam sejarah islam?
  2. Bagaimana Good Governance dalam islam?







BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Sistem Pemerintahan dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah Islam, kita kenal adanya proses pencapaian kekuasaan dalam pemerintahan Islam sejak berdirinya. Kekuasaan ini ditemukan di seluruh wilayah Islam prakolonial, yang pemerintahannya mandiri, memiliki kekuatan militer, yang dikaitkan dengan dakwah Islamiyah (A.G.Abdullah, 1986, p. 41-43). Sekalipun kekuasaan umum seperti konsep Montesqui belum ditemukan di  awal-awal kekuasaan Islam,  indikasi pemaknaan ke  arah sistem itu sudah ada sepanjang sejarah Islam. Dalam sejarah Islam, dikenal dengan Majelis Syura atau Majelis Perwakilan yang dilakukan dengan pemilihan dan menyerahkan pelaksanaan kekuasaan hukum kepada lembaga ini. Bahkan kekuasaan legislatif dalam sistem pemerintahan merupakan bagian terpenting dalam kekuasaan   umum pada Negara. (Aliyah,2004, p. 47). Sebab lembaga inilah yang melakukan penetapan perundang-undangan dan berbagai hukum yang mengatur urusan negara. Lebih lanjut, Aliyah mengatakan bahwa kekuasaan legislatif dalam Islam, sebagai pendapat yang kuat dalam fikih Islam terdapat dua arah pandangan dalam penentuannya. Pertama, mengikat penentuan  kekuasaan dengan makna yang dimaksudkan oleh syariat (hukum baru atau penjelasan hukum yang sudah ada). Kedua, mengikatnya dengan makna kepemimpinan. Yang pertama adalah hak Allah, karena Dialah yang menentukan hukum baru dengan apa yang diturunkannya dalam al-Qur'an, apa yang ditetapkan Rasul-Nya, dan apa yang dibangun berdasarkan dalil. Dengan makna ini, tiada yang berhak menentukan hukum melainkan Allah SWT.
Adapun yang berkaitan dengan penjelasan hukum yang telah ada, Nabi SAW serta Sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan mujtahid sesudahnya telah menunjukkan hasil istinbath hukum. Mereka itu tidak menentukan hukum baru, tetapi hanya menyimpulkan       (menkodifikasikan) hukum dari nash-nash al-Qur'an atau Sunnah dan dari apa yang ditetapkan oleh Pembuat syariat (Allah dan Rasul-Nya), tentang dalil serta apa yang ditentukan oleh kaidah-kaidah umum.
Demikian pula dalam makna kedua, yaitu kepemimpinan, hanya Allah SWT-lah sebagai penentu hukum tertinggi di dalam negara Islam. Kepemimpinan itu mencerminkan substansi syariat Islam yang harus dihormati dan diterapkan di Negara Islam.[1]
Al-Ghazali menjelaskan bahwa syarat kepala negara itu meliputi:   intelektualitas, akhlak, dan kemampuan fisik, yang dirangkum sebagai berikut:
1.   menjauhi kezaliman dengan dua jalan: mencari mahabbah Allah serta berbuat adil kepada rakyatnya
2. menyamakan di antara individu tanpa diskriminasi
3. bersih dari aib dan dosa
4. bekerja menurut hati nurani, kecerdasan emosi dan akalnya
5. menyatukan kerja antara tentara, harta, dan agama, agar sinergik
6. hendaknya mengurangi lawan
7. meneladani cara pemerintahan penguasa sebelumnya
8. Tidak beriteraksi dengan orang yang bejat dan jahat agar menghindari pengaruhnya
9. menjaga hukum dan melaksanakannya.

B. Good Governance dalam Islam
Melihat konsep Good Governance seperti yang sering dikemukakan oleh para ahli dalam bidang  ilmu politik dan administrasi publik, maka dapat kita lihat relevansinya dalam hal tema yang dipakai dalam literatur Islam. Nabi SAW umpamanya sejak dini mengajarkan pentingnya ke-jujuran, memenuhi janji dan  melaksanakan amanah. Salah satu hadis Nabi SAW yang sangat populer adalah: Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Apabiia berbicara selalu penuh kebohongan, apabila berjanji selalu ingkar, dan apabila dipercayai selalu khianat. Lebih jauh lagi Nabi SAW memberikan contoh kepemimpinan: yaitu, shiddiq, istiqomah, fathanah, amanah, dan tabligh.
Islam sebagai agama yang kaya akan nilai-nilai memberikan pedoman dalam perwujudan sistem pemerintahan yang baik, agar kesejahteraan terwujud dengan baik, setidaknya ada tiga pilar dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik yakni transparansi, akuntabilitas dan partisipasi (Fawaid : 2010).

1.      Transparansi
Transparansi ini diwujudkan dengan memberikan akses yang terbuka ke semua kalangan dalam setiap prosesnya. Dalam terminologi agama, transparansi ini disetarakan dengan kejujuran. Kejujuran merupakan pilar penting dalam terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik. Pemimpin tidak jujur dan bahkan kerap memanipulasi warganya, begitu pula sebaliknya. Warga tidak jujur, bahkan pada dirinya, sehingga ia tidak kuasa menyampaikan keinginannya pada penguasa menyangkut hak dan kewajibannya. Allah berfirman:


Wahai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar dan jujur.” (QS. At-Taubah [9]: 119)
2.      Akuntable
Selain transparan dan jujur, pilar lainnya adalah akuntabel. Dalam bahasa agama, ini terkait amanat, setia, dan tepat janji (al-amanah wa al-wafa’ bi al-‘ahdi). Orang yang mengedepankan transparansi dan jujur dalam tingkah lakunya, biasanya akan mudah dipercaya, dan dipastikan setia dan tepat janji. Adalah umat manusia yang ditahbiskan menjadi khalifah di  muka bumi ini memiliki tanggung  jawab untuk mengelola kehidupan. Bentuk tanggung jawabnya tentu saja beragam, dan sangat bergantung dengan peran yang dilakoninya, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah swt. dalam  suatu surat  al-Qur’an al-Karim;

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa’ [4]: 58).
Salah bentuk wujud tanggung jawab itu adalah setia dan memegang teguh janji, baik itu janji setia antara dirinya dengan Tuhannya maupun antara dirinya dan sesamanya. Allah SWT berfirman:

Wahai orang yang beriman, penuhilah aqad-aqadmu…”  (QS. Al-Maidah [5]: 1)
3. Partisipasi
Pilar selanjutnya adalah partisipasi, yang dimaksud disini adalah kebersamaan para pelaku, termasuk kalangan marginal dan perempuan untuk secara gotong-royong membicarakan, merencanakan, dan membuat kebijakan pengelolaan sumber daya publik serta mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaannya. Terminolongi ini dalam bahasa agama dikenal dengan prinsip at-ta’awun (gotong-royong). Pilar ini penting karena betapa pun individu-individu telah memegangi sifat jujur, bertanggung jawab, dan adil, namun tanpa dibarengi dengan semangat kerja sama dan kooperasi, maka untuk menggapai kebaikan bersama menjadi demikian sulit. Dalam hal, ini gotong-royong menjadi bagian dari upaya konsolidasi dan penguatan komunitas untuk melapangkan cita-citanya. Tentu saja kerja sama itu ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman:

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS. Al-Maidah [5]: 2)
Prinsip-prinsip di atas seharusnya ditopang dengan i’tikad pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum dengan asas keadilan untuk sesama. Pada saat yang sama, ini juga disertai pemihakan pemerintah pada kepentingan masyarakat dalam segala bentuk kebijaksanaannya. Potret ini merupakan ideal yang dikehendaki Islam dalam apa yang disebut dengan predikat umat terbaik seperti yang diterangkan dalam surat Ali ‘Imran ayat 110:
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali ‘Imran [3]: 110).
Pada tataran praktis, sebagai sebagai bentuk interaksi sosial politik dalam proses pemerintahan yang lebih demokratis, partisipatif, transparan dan akuntabel, Good Governance ini semestinya dimulai dengan aktivitas saling berbagi informasi, keahlian dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan aktor kebijakan dalam proses kebijakan (formulasi, omplementasi dan evaluasi kebijakan) (Imanulhaq Faqieh : 2013). Aktor kebijakan yang dimaksud di sini adalah Pemerintah, Swasta, Legislatif, LSM dan Masyarakat Madani lainnya. Akhirnya mutu produk dari proses kebijakan tersebut lebih mendekati keinginan dan kepentingan bersama. Saatnya memaknai silaturahmi diantara elemen negara, sehingga pengelolaan negara tidak terjadi tumpang tindih dan tidak berorientasi pada “keuntungan” sekolompok masyarakat tapi mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat sesuai amanat UUD 1945. Bukankah silaturahmi, sesuai sabda Nabi, “ akan memberi efek kemakmuran dan menhantarkan pada kejayaan, man ahabba an yubsatho lahu fi rizqihi wa yunsya’a lahu fi atsari fal yashil rahimahu”. Mekanisme silaturahmi yang baik akan melahirkan proses musyawarah yang efektif dan berujung pada keputusan yang berlandaskan konsensus bersama.[2]









BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam sejarah Islam, dikenal dengan Majelis Syura atau Majelis Perwakilan yang dilakukan dengan pemilihan dan menyerahkan pelaksanaan kekuasaan hukum kepada lembaga ini. Bahkan kekuasaan legislatif dalam sistem pemerintahan merupakan bagian terpenting dalam kekuasaan   umum pada Negara. (Aliyah,2004, p. 47). Sebab lembaga inilah yang melakukan penetapan perundang-undangan dan berbagai hukum yang mengatur urusan Negara.
Nabi SAW umpamanya sejak dini mengajarkan pentingnya ke-jujuran, memenuhi janji dan  melaksanakan amanah. Salah satu hadis Nabi SAW yang sangat populer adalah: Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Apabiia berbicara selalu penuh kebohongan, apabila berjanji selalu ingkar, dan apabila dipercayai selalu khianat. Lebih jauh lagi Nabi SAW memberikan contoh kepemimpinan: yaitu, shiddiq, istiqomah, fathanah, amanah, dan tabligh.
Islam sebagai agama yang kaya akan nilai-nilai memberikan pedoman dalam perwujudan sistem pemerintahan yang baik, agar kesejahteraan terwujud dengan baik, setidaknya ada tiga pilar dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik yakni transparansi, akuntabilitas dan partisipasi (Fawaid : 2010).

B. Saran
Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.





DAFTAR PUSTAKA

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. Islam, Negara dan Civil SocietY. Jakarta: Paramadina. 2005.



[1] Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam, Negara dan Civil Society, Jakarta, Paramadina, 2005, hlm. 333-334

Tidak ada komentar:

Posting Komentar