Kamis, 19 November 2015

SUMBER PIJAKAN ILMU TASAWUF DAN ASAL- USULNYA

SUMBER PIJAKAN ILMU TASAWUF DAN ASAL- USULNYA

Kelompok  III:
1.    Umi Alawiyah                     (130210008)
2.    Rani Qoimatus Salafiyah    (130210008)

A.   SUMBER PIJAKAN ILMU TASAWUF
Tasawuf merupakan bidang keilmuan Islam sebagaimana ilmu Islam lainnya. Ilmu tasawwuf terlahir dengan memiliki dalil dan penuh pertimbangan yang sudah matang. Sebagaimana diketahui dalam konteks keislaman, ada dua sumber pijakan dasar ilmu Tasawwuf, yaitu al-Quran dan al-Hadits. Keduanya adalah dasar yang dijadikan sebagai landasan sumber perkembangan ilmu pengetahuan di dalam Islam.[1]
Berdasarkan al-Qur'an banyak materi yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist membidani lahirnya tasawuf. Al-quran sebagai sumber utama Islam memberikan penjelasan terhadap persoalan aqidah dan meluruskan umat islam yang sudah rusak akibat hawa nafsunya. Selain itu, al-Qur’an menetapkan berbagai aturan yang dijadikan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang penyucian hati yang merupakan obyek tasawuf. Seperti dalam Surah Al Maidah 54 yang menerangkan bahwa Allah menurunkan kaum yang memiliki cinta atau mahabbah. Cinta adalah sebuah rasa dan keadaan jiwa yang dapat mendamaikan kehidupan. Selanjutnya dlm Al Qur’an selalu ditekankan kepada orang-orang yang beriman untuk mensucikan jiwa. Proses penyucian dalam tasawuf dinamakan Tazkiyatun Nafs.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
Berdasarkan sunnah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam merupakan panutan dan tuntunan hidup kaum sufi untuk mendekatkan diri pada Allah. Imam At-Taftazani membagi kehidupan Rasul dalam 2 bagian yang pertama sebelum diangkat menjadi Rasul dan kehidupan ketika sudah diangkat menjadi Rasul.
Sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau mengasingkan diri ditempat sunyi khususnya di bulan Ramadhan beliau merenung dan meminta petunjuk di Gua Hira. Jauh dari keramaian dan kesibukan duniawi, beliau bertafakur dan menyucikan diri. Dalam keadaan inilah Allah memberikan petunjuk dan mengangkatnya sebagai Rasul.
Kehidupan inilah yang menjadi inspirasi bagi para sufi melakukan riyadlah agar kesucian jiwa terpenuhi demi mendapatkan pengenalan dan menjadi kekasih Allah.  Setelah diangkat menjadi Rasul tak ada sesaat pun dalam kehidupan beliau yang tak tercatat dan terekam oleh umatnya, perintah, perilaku, dan laranganya serta penetapanya dijadikan sumber hukum setelah Al Quran, dan inilah dijadikan pegangan bagi para kaum sufi.[2]
Dalam perilaku beliau sering memberikan nasihat bagaimana laku hidup yang baik agar dekat dengan Allah "Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu"(Hr.Ibn Majah, At-Thabrani, Alhakim dan Baihaqi).[3]
Pengakuan dan persaksian kepada Allah swt. dan Nabi saw sebagai Tuhan dan utusan Allah swt. tidak cukup hanya dengan lisan tanpa dibuktikan dengan amalan ibadah keseharian dengan melaksanakan rukun islam yang lainnya, termasuk shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu menjalankannya. Keimanan tersebut tidak cukup tanpa dijiwai dengan semangat keimanan. Kepercayaan dan keyakinan kepada Allah dan rasulnya serta hal-hal lain yang masuk di dalam kewajiban yang harus dipercayai oleh umat islam.
Islam dan iman belumlah cukup menjadikan umat islam sempurna kecuali dengan melakukan amalan perbuatan yang mencerminkan perbuatan ihsan. Dimensi inilah yang menjadi wadah munculnya tasawuf yang dalam sejarahnya memunculkan berbagai kegiatan yang diawali dengan sikap zuhud. Selanjutnya, tasawuf  juga berkembang ke arah amalan praktis yang dapat di jadikan acuan untuk mensucikan hati melalui serangkaian kegiatan yang disebut thariqot yang banyak dilakukan oleh umat islam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. dan mensucikan hatinya.[4]

B.   ASAL- USUL TASAWUF
Menurut Taftazani, tasawuf lebih banayak dimotivasi oleh ayat- ayat Al- Qur’an maupun hadis Rasulullah yang bernada merendahkan nilai dunia, dan sebaliknya banyak dijumpai nasihat agama yang memberi motif beramal demi memperoleh pahala akhirat  dan terselamatkan dari siksa api neraka. Ayat- ayat yang menggambarkan kehidupan dunia, antara lain termuat dalam Al-Qur’an:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dalam sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megahan antara kamu serta berbangga- bangga tentang banyak harta dan anak, seperti hujan yang menjadikan tanaman- tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan menjadi hancur. Dan di akherat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaan- Nya. Dan kehidupan ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Sementara ada yang menunjukkan nilai akherat lebih baik daripada kehidupan dunia, antara lain:
“Dan sesungguhnya akherat itu lebih baik bagimu daripada dunia.”
“Dan sesungguhnya akherat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
Selanjutnay Al- Qur’an menegaskan bahwa dengan adanya dua alternatif tersebut, manusia dipersilahkan memilih di antara dua pilihan tersebut:
“Adapun orang- orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Adapun orang- orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”
Dalam ayat lain Allah menggambarkan sifat- sifat manusia dalam menyikapi dunia “Cenderung bersenang- senang dengan wanita, anak, dan harta dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatanga ternak, sawah ladang, yang semua itu merupakan kesenangan dunia, tetapi Allah SWT adalah tempat kembali yang baik” (Q.S. Ali Imran:14). Dan kemudian dipertegas lagi dengan ayat 20 surat Al- Fajr bahwa “Manusia itu sangat menyenangi terhadap harta kekayaan”. Sementara dijelaskan pula bahwa “Harta dan anak merupakan fitnah, tetapi dibalik itu apabila seseorang bisa mengelolanya akan mendapat pahala besar di sisi Allah.” (Q.S. Al-Anfal: 28).
Nabi Muhammad SAW banyak memberi gambaran tentang kehidupan dunia. Kehidupan dunia digambarkan bagaikan penjara bagi seorang mu’min, artinya kehidupan mereka selalu dibatasi, dan tidak bisa hidup semena- mena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara. Dan sebaliknya bagaikan surga bagi seorang kafir (orang yang mengingkari adanya Tuhan), bagaikan tempat yang menyenangkan, bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang mengikat. Beliau pernah menggambarkan pembagian dunia menjadi tiga, sepertiga dimakan, maka akan hancur, sepertiga dipakai, maka akan rusak, dan sepertiga diberikan (disedekahkan), maka hasilnya akan dipetik dikemudian hari. Sedangkan yang selain itu akan sirna dan ditinggalkan kepada manusia.
Ayat- ayat maupun hadis- hadis tersebut menggambarkan banyak hal tentang dunia (keduniaan). Kehidupan dunia bagaikan permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan yang gemerlap, tempat berbangga diri dan berlomba- lomba materi. Padahal kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu, sementara manusia mempunyai sifat menyenanginya. Allah menyuruh kepada umat manusia agar hal tersebut tidak menjadikan lupa kepada-Nya dan hari akhir sebagai tempat kehidupan yang kekal abadi, dengan beribadah kepada-Nya dan menginfakkan harta kekayaannya di jalan-Nya.
Pemahaman sepihak terhadap ayat- ayat dan hadis- hadis tersebut dan yang semacamnya mendorong sebagian orang Islam pada abad I dan II hijriyah untuk hidup bertasawuf, menahan diri dari hal- hal yang bersifat  duniawi, dan sebaliknya mendorong mereka untuk hidup shalih, beramal demi akherat, bahkan ada yang hidup ekstrim, tidak memperdulikan makan dan minum, berpakaian seadanya, tidak memikirkan harta kekayaan dan sebagainya, karena takut akan pesona dunia, ia berusaha meraih kebahagiaan rohani dan kebahagiaan di akhirat kelak. Dengan demikian nash- nash tersebut atau faktor intern ajaran Islam sangat dominan dalam pembentukan sikap tasawuf kaum muslimin.[5]



[1] Mulyadhi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawwuf. Jakarta: Erlangga. 2006. Hlm.37
[2] Al-Fatih, Suryadilaga. Miftahus Sufi. Yogyakarta: Teras. 2006. Hlm. 56
[3] Sunan At-Thabrani. Al-Maktabah Al-Syamilah.
                                                                                 
[4] Amin Syukur. Menggugat Tasawwuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999 .Hlm.109.
[5] Amin Syukur. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. Hlm. 38- 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar