Kamis, 19 November 2015

FUNGSI DAN URGENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

FUNGSI DAN URGENSI
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Ahmad Falah, M, Ag

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/0/03/Logo_STAIN_Kudus_Jawa_Tengah.jpg

Disusun Oleh :
1.      Indana Alva Chusna               (1310210002)
2.      Rani Qoimatus Salafiyah        (1310210009)
3.      Tri Bowo Krismawanto          (1310210020)

 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
TAHUN 2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan mempunyai dua arti, dalam arti luas dan arti sempit. Pendidikan dalam arti luas adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak, secara alamiah semua anak, sebelum mereka dewasa menerima pembinaan dari orang-orang dewasa agar mereka dapat berkembang dan bertumbuh secara wajar. Kedua pendidik ini diberi pelajaran tentang pendidikan dalam waktu relatif lama agar mereka dapat menguasai ilmu itu dan terampil melaksanakannya di lapangan.
Kegiatan pendidikan tersebut melalui suatu proses perpindahan (transmisi), baik dalam bentuk informal, formal, maupun non formal. Bahkan lebih jauh Lodge mengatakan bahwa Pendidikan dan proses hidup dan kehidupan manusia itu berjalan serempak, tidak terpisah satu sama lain, Life is education and education is life.
Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup dan berproses sejalan dengan dinamikanya hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi. Sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia.
Dalam mempelajari filsafat pendidikan islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan. Pemikiran filsafah pada hakekatnya adalah usaha menggerakkan semua potensi psikologis manusia seperti pemikiran, kecerdasan, kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan tentang gejala kehidupan terutama manusia dan alam sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian filsafat pendidikan Islam?
2.      Apa fungsi filsafat pendidikan Islam?
3.      Apa urgensi filsafat pendidikan Islam?


BAB II
PEMBAHASAN
                  
A.  Pengertiaan Filsafat Pendidikan Islam
Tidak semua masalah kependidikan bisa dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata-mata. Banyak diantara masalah-masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis, yang memerlukan pendekatan-pendekatan filosofis pula dalam pemecahannya. Analisa filsafat terhadap masalah-masalah kependidikan tersebut, dengan berbagai cara pendekatannya, akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah kependidikan, dan atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori-teori pendidikan. Disamping itu jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh jenis dan aliran filsafat tertentu sepanjang sejarah terhadap problematika pendidikan yang dihadapinya, menunjukkan pandangan-pandangan tertentu, yang akan memperkaya teori-teori pendidikan.[1]
Pengertian filsafat pada bahasa asalnya Yunani Kuno adalah “cinta akan kebenaran atau hikmah”. Sedangkan pengertian filsafat secara umum dapat diketahui bahwa filsafat itu bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha untuk mendapatkannya. Dengan pengertian itu, maka filosof adalah orang yang mencintai hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selain itu, mencari hakekat sesuatu, berusaha menghubungkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[2]
Filosof pendidikan dan juga filosof umum telah berusaha mencari yang hak dan hakekatnya serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Jadi filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidahnya dalam bidang pendidikan. Sedangkan filsafat pendidikan Islam terbentuk dari perkataan filsafat, pendidikan dan Islam. Penambahan kata Islam di akhir gabungan kata tersebut dimaksudkan untuk membedakan filsafat pendidikan Islam dari pengertian yang terkandung dalam filsafat pendidikan umum. Dengan demikian filsafat pendidikan Islam mempunyai pengertian khusus yang ada kaitannya dengan ajaran agama Islam.
John dewey, seorang filosof Amerika sebagaimana dikutip oleh Imam Barnadib (1997:15) mengatakan bahwa filsafat adalah teori umum dari pendidikan. Filsafat mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dari pengalaman yang banyak terdapat dalam lapangan pendidikan. Sebuah contoh: konsep mengenai pandangan dunia dan hidup, dapat menjadi landasan penyusunan konsep, tujuan dan metodologi pendidikan, di dukung oleh pengalaman pendidik dalam menuntun pertumbuhan dan perkembangan anak.[3]
Selanjutnya setiap filsafat pendidikan perlu terlebih dahulu menjelaskan corak manusia yang dikehendaki atau yang hendak di capai, sebab pada akhirnya setiap tata nilai suatu pendidikan tergantung pada kualitas dan watak manusia yang di idealkan.
Apabila sesuatu yang di idealkan tidak sesuai dengan filsafat yang digunakan maka akan terjadi ketidak cocokan (inconsistency), tidak hanya dalam kiprahnya tetapi juga dalam tingkah lakululusan serta kedalaman mutu yang tidak dapat diabdikan dalam masyarakat tidak dapat dilanjutkan pada suatu proses pendidikan yang lebih tinggi sehingga merendahkan harkat dan martabat lulusannya, baik dilihat dari segi intelektual maupun dari segi perilaku fungsionalnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan Islam adalah konsep berpikir tentang pendidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangakan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.
Filsafat pendidikan Islam juga dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem dan aliran dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat Islam. Di samping itu, filsafat pendidikan Islaam juga merupakan studi tentang penggunaan dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam, selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan umat Islam. Sehingga filsafat pendidikan Islam bisa dikatakan lebih bersifat tradisional dan kritis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Imam Barnadib bahwa filsafat pendidikan itu mempunyai dua corak, yaitu corak tradisional dan corak filsafat yang kritis. Filsafat tradisional adalah filsafat sebagaimana adanya, sistematika, jenis serta alirannya sebagaimana dijumpai dalam sejarah.[4]
Secara khusus filsasfat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis, dan medologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakekat pendidikan.
B.  Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
            Sebagai teori umum mengenai sistem pendidikan, maka filsafat pendidikan Islam menjadi sangat penting. Filsafat Pendidikan Islam berfungsi sebagai peletak dasar bagi kerangka dari sistem pendidikan yang akan berfungsi sebagai cara untuk mengaplikasikan ajaran agama Islam di bidang pendidikan, dengan tujuan yang identik dengan tujuan yang akan dicapai ajaran Islam itu sendiri.
            Selanjutnya, jika pendidikan merupakan proses pelaksanaan mencapai tujuan, maka filsafat pndidikan Islam berfungsi sebagai pedoman dasar dari sistem yang harus ditelusuri oleh proses pelaksanaan itu sendiri. Filsafat pendidikan Islam dengan demikian berfungsi sebagai pembentuk nilai-nilai bagi pendidikan Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka filsafat pendidikan Islam berusaha meletakkan dasar pemikirannya pada tujuan yang memuat konsep tentang akhlak yang mulia.
            Dua sasaran pokok yang juga termuat dalam tujuan filsafat pendidikan Islam adalah meletakkan dasar pemikiran sistem pendidikan yang berdimensi ganda. Dimensi petama adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Dimensi kedua berhubungan dengan fitrah kejadian manusia, yaitu sebagai pengabdi Allah yang setia.[5]
            Hasan Langgulung dalam bukunya Asas-asas pendidikan Islam, telah membahas tentang fungsi filsafat pendidikan menjadi sembilan kelompok penting yaitu:[6]
1.    Untuk memahami sistem pengajaran
2.    Menganalisa konsep-konsep dan istilah-istilah
3.    Mengkritik asumsi-asumsi dan fakta-fakta
4.    Membimbing asas-asas pendidikan
5.    Menerima perubahan-perubahan dasar
6.    Membimbing sikap para guru dan pengajar
7.    Membangkitkan dialog dan persoalan
8.    Menghilangkan pertentangan pendidikan, dan
9.    Meneruskan rencana-rencana baru
            Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa harus ada pembaharuan dan inovasi pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan hari esok, sebab pendidikan pada dasarnya menyiapkan generasi-generasi masa depan.
Kegunaan filsafat secara umum ialah untuk memperoleh pengertian (makna) dan untuk menjelaskan gejala atau peristiwa alam dan sosial. Itu berarti orang yang berfilsafat harus berpikir obyektif atas hal-hal yang obyektif, bukan menghayal. Dari situlah, para ahli di bidang tersebut telah banyak meneliti  secara teoritis mengenai kegunaan Filsafat Pendidikan Islam. Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari Filsafat Pendidikan Islam tersebut sebagai berikut:[7]
1.   Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang  melaksanakannya dalam suatu Negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan. Di samping itu, ia dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan dan peningkatan tindakan dan keputusan termasuk rancangan-rancangan pendidikan mereka. Selain itu ia juga berguna untuk memperbaiki peningkatan pelaksanaan pendidikan serta kaidah dan cara mereka mengajar yang mencakup penilaian, bimbingan dan penyuluhan.
2.    Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh. Penilaian pendidikan itu dianggap persoalan yang perlu bagi setiap pengajaran yang baik. Dalam pengertian yang terbaru, penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah, institusi-institusi pendidikan secara umum untuk mendidik angkatan baru dan warga Negara dan segala yang berkaitan dengan itu.
3.   Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik di Negara kita. 
Berdasarkan pada kutipan di atas timbul kesan bahwa kegunaan dan fungsi filsafat pendidikan islam ternyata amat strategis. Ia seolah-olah menjadi acuan dalam memecahkan berbagai persoalan dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena yang diselesaikan filsafat pendidikan islam itu adalah bidang filosofinya yang menjadi akar dari setiap permasalahan kependidikan. Dengan berpedoman pada filsafat pendidikan ini setiap masalah pendidikan akan dapat dipecahkan secara komprehensif, intergrated, dan tidak parsial, tambal sulam atau sepotong-potong.
Namun demikian, uraian tentang fungsi filsafah pendidikan Islam tersebut memberi kesan terlalu umum dan abstrak. Fungsi filsafat pendidikan yang lebih kongkret lagi dijelaskan oleh Ahmad D. Marimba. Menurutnya, filsafat pendidikan dapat menjadi pegangan pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang berkepribadian muslim. Generasi-generasi baru ini selanjutnya akan mengembangkan usaha-usaha pendidikan dan mungkin mengadakan  penyempurnaan atau penyusunan kembali filsafat yang mendasari usaha-usaha pendidikan itu sehingga membawa hasil yang lebih besar.
Selanjutnya Muzayyin Arifin mengatakan, bila dilihat dari fungsinya maka filsafat pendidikan Islam merupakan pemikiran mendasar yang melandasi dan mengarahkan proses pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh karena itu, filsafat ini juga memberikan gambaran tentang sampai di mana proses tersebut dapat direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut dilaksanakan. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam itu juga bertugas melakukan kritik-kritik tentang metode-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam itu serta sekaligus memberikan pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus digunakan atau diciptakan agar efeltif untuk mencapai tujuan. Dari uraiannya ini, lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu seharusnya bertugas dalam 3 (tiga) dimensi, yakni:
1.    Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam.
2.    Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.
3.    Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Dengan memperhatikan uraian tersebut dapat diketahui ternyata filsafat pendidikan Islam berfungsi mengarahkan dan memberikan landasan pemikiran yang sistematik, mendalam, logis, universal, dan radikal terhadap berbagai masalah yang beroperasi dalam bidang pendidikan dengan menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar acuannya. Dengan demikian, jika dijumpai permasalahan yang terdapat dalam bidang pendidikan, maka cara penyelesaiannya yang ideal dan komprehesif harus dimulai dari tinjauan filosofinya, karena pemecahan yang ditawarkan filsafat pendidikan ini sifatnya menyeluruh, komprehensif, mendasar, dan sistematis, sebagaimana hal itu menjadi cirii khas dari pemikiran filsafat.[8]
Pendidikan Islam mempunyai peranan yang penting sekali dalam perkembangan ilmu pengetahuan itu, yaitu untuk mengarahkannya kepada kebaikan dan menjadikannya bermanfaat bagi manusia yang dapat menumbuhkan iman serta menyuburkan pertumbuhannya. Menurut pendapat Ali Saifullah H.A bahwa apabila seseorang mempelajari ilmu filsafat pendidikan ataupun Filsafat Pendidikan Islam harus mengetahui sejauh mana manfaatnya, sebagaimana disebutkan olehnya:[9]
1.    Memberikan kesempatan kepada setiap pendidik untuk membiasakan diri mengadakan perenungan mendalam terhadap teori, betapa pun kurang atau belum sempurnanya teori tersebut.
2.    Akan memberikan pengertian yang mendalam akan problem esensial dan dasar pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam menyelesaikan problem pendidikan.
3.    Membiasakan para pendidik dan guru agar mengutamakan berfikir kritis dan reflektif dalam meyelesaikan problem-problem kehidupan dan penghidupan manusia, dan terutama problema yang mendasar dalam pendidikan.
4.    Memberikan kesempatan pada pendidikan dan guru untuk selalu berusaha meninjau kembali pandangan dasar-dasar filsafat pendidikan yang selama ini diyakini kebenarannya.
5.    Bahwa berdasar atas kenyataan keragaman aliran-aliran filsafat pendidikan, dalam pengertian betapa banyak pandangan tentang dasar-dasar dan tujuan pendidikan, maka dituntut kepada mereka para pendidik dan guru untuk meninjau segala perbedaan tersebut secara kritis, reflektif, bebas, dan terbuka.

C.      Urgensi Filsafat Pendidikan Islam
            Dalam menentukan suatu filasafat pendidikan, sekalipun dengan maksud sederhana mempunyai kepentingan yang sangat besar bagi setiap pendidikan yang berusaha ke arah perbaikan, kemajuan dan bangunan dasar. Pendidikan tidak akan tumbuh, berkembang dan selaras dalam bidang kemajuan, selagi tidak bersandar pada pemikiran filsafat yang selalu disertai dengan perubahan pembaharuan dalam dunia yang selalu bertarung dengan ilmu dan teknologi.
            Jadi filsafat pendidikan yang baik haruslah memberi pedoman kepada perancang-perancang dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Hal tersebut akan mewarnai segala perbuatan mereka dengan hikmah, menghubungkan uaha-usaha pendidikan mereka dengan filsafat umum, untuk negara dan bangsa, disamping juga menjauhkan dari sifat-sifat meraba dan mencari penyelesaian yang cepat dalam menyelesaikan masalah pendidikan.
            Zuhairini memberikan penjelasan terhadap pentingnya filsafat pendidikan Islam, yakni bahwa filsafat pendidikan Islam sebagai bagian dari filsafat Islam dan sekaligus juga sebagai bagian dari ilmu pendidikan. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam berperan dalam mengembangakan filsafat Islam, dan memperkaya filsafat Islam dengan konsep-konsep dan pandangan filosofis dalam bidang kependidikan. Dan ilmu pendidikan pun akan dilengkapi dengan teori-teori kependidikan yang bersifat filosofis Islami.
            Sedangkan secara praktis (dalam prakteknya), filsafat pendidikan Islam banyak berperan dalam memberikan alternatif-alternatif pemecahan berbagai macam problem yang dihadapi oleh pendidikan Islam, dan memberikan pengarahan terhadap perkembangan pendidikan Islam:
a.    Pertama-tama filsafat pendidikan Islam akan menunjukkan problema yang dihadapi pendidikan Islam, sebagai hasil dari pemikiran yang mendalam, dan berusaha untuk memahamiduduk masalahnya.
b.    Filsafat pendidikan Islam dapat memberikan pandangan tertentu tentang manusia (menurut Islam). Pandangan tentang hakekat manusia tersebut, berkaitan dengan tujuan pendidikan menurut Islam. Filsafat pendidikan dapat berperan untuk menjabarkan tujuan umum pendidikan Islam tersebut, dalam bentuk tujuan-tujuan khusus yang operasional. Dan tujuan yang operasional ini berperan untuk mengarahkan secara nyata gerak dan aktivitas pelaksanaan pendidikan.
c.    Filsafat pendidikan Islam dengan analisanya terhadap hakekat manusia, berkesimpulan bahwa manusia mempunyai potensi pembawaan yang harus ditumbuhkan dan dikembangakan.
d.   Filsafat pendidikan Islam, dalam analisanya terhadap masalah-masalah pendidikan Islam masa kini yang dihadapinya, akan dapat memberikan informasi apakah proses pendidikan Islam yang berjalan selama ini, mampu mencapai tujuan pendidikan Islam yang ideal atau tidak, dapat merumuskan dimana letak kelemahannya, dan dengan demikian bisa memberika alternatif-alternatif perbaikan dan perkembangannya.[10]
            Dengan demikian peranan filsafat pendidikan Islam mempunyai dua arah, yaitu pertama ke arah pengembangan konsep-konsep filosofis dari pendidikan Islam, yang secara otomatis akan mengahsilkan teori-teori baru dalam ilmu pendidikan Islam, dan ke dua ke arah perbaikan dan pembaharuan praktek dan pelaksanaan pendidikan Islam.
            Inilah diantara yang terpenting yang kita peroleh dari menemukan, memahami, dan mengkaji filsafat pendidikan. Faedah ini seharusnya mendorong kita untuk menciptakan filsafat pendidikan, karena kita akan mendapat bahan penting dan asasi ke arah perbaikan kualitas pendidikan kita. Kalau kita membicarakan pentingnya filsafat pendidikan untuk umat Islam yaitu filsafat pendidikan yang berasal dari prinsip-prinsip dan ruh Islam, maka sudah termuat dan terwakili oleh batasan-batasan di atas dan kita tinggal memindahkan saja ke dalam filsafat pendidikan Islam.
            Akhirnya dari pembahasan yang sudah panjang lebar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa urgensi dan fungsi filsafat pendidikan Islam bagi guru, pengajar maupun pakar pendidikan Islam tidak perlu diragukan lagi. Karena pendidikan tanpa dijiwai oleh filsafat pendidikan tidak akan berjalan dengan baik dan sempurna serta akan kesulitan dalam menentukan arah dan tujuan yang diharapkan.
            Hubungan pendidikan dan filsafat adalah suatu keharusan, karena filsafat itu sendiri sebagai teori dasar, konsep umum, pedoman dan kompas kemana seharusnya pendidikan itu difungsikan dengan baik dan tepat. Sedangkan pendidikan itu adalah hasil dari penerapan tentang teori filsafat yang telah direncanakan dengan matang, mendalam dan kritis tentang tujuan yang diharapkan.
Tujuan filsafat pendidikan pada hakekatnya identik dengan tujuan ajaran Islam. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Filsafat pendidikan Islam berperan ke dua arah yaitu pengembangan konsep-konsep filosofis dari pendidikan Islam, yang secara otomatis akan menghasilkan teori-teori baru dalam ilmu pendidikan Islam, dan yang ke dua ke arah perbaikan dan pembaharuan praktek dan pelaksanaan pendidikan Islam (peranan teoritis dan praktis).[11]













BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Terdapat bergagai macam pendapat yang mengemukakan tentang fungsi filsafat pendidikan Islam, dan dari pendapat- pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam berfungsi untuk mengarahkan dan memberikan landasan pemikiran yang sistematik, mendalam, logis, universal, dan radikal terhadap berbagai masalah yang beroperasi dalam bidang pendidikan dengan menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar acuannya.
            Zuhairini memberikan penjelasan terhadap pentingnya filsafat pendidikan Islam, yakni bahwa filsafat pendidikan Islam sebagai bagian dari filsafat Islam dan sekaligus juga sebagai bagian dari ilmu pendidikan. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam berperan dalam mengembangakan filsafat Islam, dan memperkaya filsafat Islam dengan konsep-konsep dan pandangan filosofis dalam bidang kependidikan. Dan ilmu pendidikan pun akan dilengkapi dengan teori-teori kependidikan yang bersifat filosofis Islami.

B.  Saran
            Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang  lebih baik.









DAFTAR PUSTAKA

Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1992.

Al Syaibany. Falsafah Al Tarbiyah Al IslamiyahTerjemah  Hasan Tanggulung. Jakarta: Bulan Bintang: 1979.

Jalaluddin, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Konsep dan Perkembangan Pemikiran): Jakarta.1996.

Adri Efferi. Filsafat Pendidikan Islam. Kudus: Nora Media Enterprise. 2011.        

Abudin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.

Abdul Aziz. Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Yogyakarta. Sukses Offset. 2009.
                                                                



[1] Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1992. Hlm. 16.
[2] Al Syaibany. Falsafah Al Tarbiyah Al Islamiyah. Terjemah  Hasan Tanggulung. Jakarta: Bulan Bintang. 1979. Hlm. 26.

[3] Adri Efferi. Filsafat Pendidikan Islam. Kudus: Nora Media Enterprise. 2011. Hlm. 10-11
[4] Abdul Aziz. Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Yogyakarta. Sukses Offset. 2009. Hal. 12-13
[5] Jalaluddin, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Konsep dan Perkembangan Pemikiran) Jakarta.1996. Hlm. 27
[6] Adri Efferi. Op.cit., Hlm. 23
[7] Abudin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. Hlm. 17
[8] Ibid, hlm. 18-19
[9]Abdul Aziz. Op.cit., Hlm. 27
[10] Adri Efferi. Op.cit.,  Hlm. 23-25
[11] Ibid,. Hlm. 27 

Mengenal Tokoh dan Kitab Hadis (Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Mengenal Tokoh dan Kitab Hadis
(Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadis
Dosen Pengampu: M. Dhofir, M.Ag





Disusun Oleh :
1.   Rani Qoimatus Salafiyah                    : 1310210009
2.   Saidatun Ni’mah                                 : 1310210022


 



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kitab-kitab Hadis dalam bentuk subjek-subjek khusus atau minat tertentu telah muncul sejak abad pertama Hijrah. pengklasifikasian yang muncul berbeda-beda, baik secara kuantitas dan kualitasnya, sesuai dengan kapasitas masing-masing penyusunannya. Bahkan banyak pula karya-karya yang muncul pada paruh pertama abad kedua Hijrah.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempat Hijrah perubahan terjadi dengan munculnya kitab-kitab Hadits yang hanya memuat Hadits Nabi dengan pengaturan sistematika tertentu. Pada periode inilah munculnya kitab-kitab Hadis yang diantaranya dalah kitab hadis karangan Imam Al- Bukhari dan Imam Muslim.
Pembahasan berikut secara khusus akan menguraikan tentang kitab Sahih susunan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dinilai menduduki peringkat teratas dari sederetan kitab-kitab Hadis. Pembahasan ini diawali dengan pengungkapan riwayat hidup Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, kitab shahih Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, criteria hadis shahih yang ditetapkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, serta keutamaan kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Imam Al- Bukhari, Kitab Shahihnya, Kriteria hadis shahih yang ditetapkannya, dan keutamaan kitab Shahih Al- Bukhari?
2.      Bagaimana riwayat hidup Imam Muslim, Kitab Shahihnya, Kriteria hadis shahih yang ditetapkannya, dan keutamaan kitab Shahih Muslim?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Imam Al-Bukhari
             Nama lengkap Imam Al- Bukhari ialah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al- Ju’fi Al-Bukhari. Imam Al- Bukhari dilahirkan pada hari Jum’at malam tanggal 13 Syawal 194 H dalam sebuah keluarga yang diberkahi, yang berhias ilmu dan taqwa. Ayahnya bernama Ismail.
            Imam Al- Bukhari telah menuntut ilmu kepada ahli-ahli hadits yang populer pada masa itu di berbagai negara, yaitu Hijaz, Syam, Mesir, dan Irak. Dia meninggal dunia pada malam selasa tahun 255 H dalam usia 62 tahun kurang 13 hari, dengan tidak meninggalkan seorang anak pun.[1]

1.    Kitab Shahihnya
            Diakui oleh Al- Bukhari bahwa ide atau alasannya menyusun kitab shahih, antara lain berasal dari saran gurunya sendiri Ishaq bin Rahawaih. Kemudian mimpinya bertemu Nabi yang takwilnya mengisyaratkan agar ia membersihkan hadis Nabi dari kepalsuan. (Silsilah al- Buhuts al- Islamiyah, 1969:58-59).[2]
            Kitab Shahih Al- Bukhari telah memperoleh penghargaan tinggi dari para ulama’. Terhadap kitab ini, mereka telah memberikan pernyataan, bahwa Shahih Al- Bukhari adalah satu-satunya kitab yang paling shahih setelah Al- Qur’an.
            Judul lengkap kitab ini ialah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari sendiri, yaitu “Al- Jami’u Al- Shahihu Al- Musnadu Al- Mukhtasharu min Hadiitsi Rasuulillah wa Sunanihi wa Ayyaamini”.
            Kitab ini merupakan himpunan hadits-hadits shahih, yang sekaligus menjadi objek pembahasannya. Hal itu dapat diketahui secara jelas dari kriteria dan syarat- syarat yang digunakan oleh Al- Bukhari dalam mengidentifikasi hadits- hadits yang diukatakannya sebagai hadits shahih. Dan hanya hadits- hadits yang memenuhi kriteria dan syarat- syarat yang ditetapkan itulah yang dimasukkan ke dalam kitabnya ini. Oleh karena itu di dalam kitab ini hanya terdapat hadits-hadits yang shahih.
            Abu Abdillah Al- Humaidi di dalam kitabnya, Al- Jam’u baina Shahihaini, mengatakan, “Bahwa aku tidak menemukan dari imam- imam zaman klasik seorang yang lebih fashih menghafalkan himpunan hadsits-hadits shahih kecuali dua imam ini (Bukhari dan Muslim)”.
           Komentar tersebut adalah dimaksudkan bahwa semua pokok bahasan dan tujuan pembahasan serta matan- matan dari bab- bab yang ada di dalam kitab ini, jika ditinjau dari segi syarat shahih berupa muttashil, adalah bukan sebagai fragmentasi biografi dan lain sebagainya. Akan tetapi, yang dimaksud pembahasan Al- Jami’ itu hadits- hadits shahih, sebab di sana ternyata terdapat juga hadits- hadits muallaq dan hadits- hadits mauquf. Namun, oleh karena keberadaan kedua macam hadits itu dimaksudkan sebagai pelengkap dan penguat keshahihannya, maka konseptual kedua macam hadits itu tidak bisa menggeser dari pokok pembahasannya.[3]

2. Kriteria dan Syarat- syarat Hadits Shahih yang Ditetapkan Al- Bukhari
              Di antara penjelasan mengenai makna kriteria dan syarat hadits shahih yang ditetapkan oleh Al- Bukhari yang paling baik dan rinci ialah yang diuraikan oleh Ibnu Hajar di dalam pendahuluan kitabnya Al- Nukat dan kitabnya Muhtashar Fathu Al- Bari. Dia menyimpulkan, bahwa mengenai kriteria dan syarat- syarat hadiys shshih yang ditetapkan oleh A- Bukhari dapat diketahui dari dua hal, yaitu:
Pertama : Dari judul yang diberikan oleh Al- Bukhari sendiri terhadap kitab tersebut
              Al- Bukhari memberi judul kitabnya  Al- Jami’u Al- Shahihu Al- Musnadu Al- Mukhtasharu min Hadiitsi Rasuulillah wa Sunanihi wa Ayyaamini. Dari kata “Jami’” (yang berarti menghimpun) dapat tergambar bahwa di dalam kitabnya itu dia tidak hanya mengkhususkan satu macam pembahasan, melainkan meliputi pembahasan mengenai hukum, keutamaan amal, berita- berita yang murni, urusan- urusan yang lampau dan akan datang, masalah etika, memerdekakan budak, dan lain sebagainya.
              Sedang dari kata “Shahih” menunjuk pada pengertian, bahwa di dalam kitab itu tidak ada sesuatu hadits yang dhaif menurutnya, sebagaimana yang diucapkannya sendiri, “aku tidak memasukkan dalam Al-Jami’  kecuali yang shahih”.
              Adapun dari kata “Al- Musnadu” menunjukkan bahwa kitab itu mengekspose hadits- hadits yang muttashil sanadnya, yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrir. Dan jika di dalam kitab itu terdapat hadits yang tidak shahih, maka secara konsepsual hal itu hanya di maksudkan sebagai pelengkap dan penguat saja, bukan sebagai tujuan pokok dari pembahasannya. Demikian menurut pendapat yang paling kuat dan benar.
Kedua : Dari hasil  penelitian yang dilakukan orang terhadap kitab tersebut
             Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hasil penelitian di atas, dan siapa yang melakukannya, maka di sini terlebih dahulu perlu memformulasikan criteria dan syarat- syarat yang ditetapkan Al- Bukhari dalam kitabya itu dan oleh imam- imam yang lain. Yaitu, sanadnya harus muttashil, rawi- rawinya adil dan dhabit. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi secara keseluruhan, maka harus disertakan faktor pelengkap dan penguat, sehingga hadits itu terhindar dari illat yang berakibat kedhaifan dan syadnya, yakni berbeda dengan riwayat rawi- rawi yang lebih banyak dan lebih dhabit, dimana perbedaan yang terjadi antara keduanya tidak memungkinkan untuk dikompromikan dan disatukan. Kemudian menurut Al- Bukhari dan para ahli hadits, bahwa arti muttashil adalah di syaratkan rawi- rawi itu pernah bertemu dalam satu masa.
            Oleh karena rawi- rawi dalam kitab Shahih Al- Bukhari secara keseluruhan terdapat indikasi- indikasi tersebut di atas, para imam sejak dahulu sampai sekarang bersesuaian pendapat menyebut kitab Shahih Al- Bukhari sebagai kitab yang paling shahih, sesudah Al- Qur’an.[4]

3.Keutamaan Shahih Al- Bukhari
            Kesepakatan para ulama’ mengenai Shahih Al- Bukhari lebih utama dari Shahih Muslim itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Al- Nawawi dan gurunya, Ibnu Al- Shalah, dan lain- lain.
            Kitab Shahih Al- Bukhari adalah paling shahih, banyak mengandung faedah dan pengetahuan di antara kedua kitab shahih tersebut. Adalah shahih riwayatnya yang menyebutkan, bahwa imam muslim mengambil faedah dari shahih Al- Bukhari. Imam Muslim sendiri telah mengakui, Al- Bukhari sebagai orang yang tidak ada bandingannya dalam bidang ilmu hadis. Pendapat Al- Nawawi itu juga dikuatkan oleh pernyataan Imam Muslim sendiri tehadap Al- Bukhari, “tidak ada orang yang marah kepadamu (Al- Bukhari) kecuali orang yang dengki, dan aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang sepertimu.”[5]

B.        Imam Muslim
            Nama lengkapnya ialah Abu Al- Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al- Qusyairi Al- Naisaburi. Dia adalah salah seorang diantara panji- panji ahli hadis yang berkedudukan sebagai imam, hafidz, dan kuat posisinya.
       Menurut Al- Hafidz ibnu Al- Ba’I di dalam kitabnya ‘Ulamau Al- Anshari’, bahwa imam muslim di lahirkan di Naisabur pada tahun 206 H dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga berpendidikan yang haus akan ilmu hadits.
       Dia telah menyusun kitab shahihnya yang populer, dan karya- karyanya yang lain. Masahidupnya di curahkan sepenuhnya untuk mencari ilmu, mengajar, menemui guru- guru, dan menyusun kitab sampai meninggal dunianya pada tahun 261 H di Naisabur dalam usia 55 tahun.[6]

1.      Kitab Shahinya
            Shahih Muslim merupakan kitabnya yang popular di seluruh dunia dan namanya terkenal di mana- mana. Dalam menyusun kitabnya itu,dia menghabiskan waktu 15 tahun. Dan di dalam kitabnya itu dia menghimpun sebanyak 12.000 hadits yang diseleksinya dari 300.000 hadits.

2.      Kriteria Hadits Shahih yang Ditetapkan Imam Muslim
Syarat-syarat kesahihan hadis menurut Imam Muslim tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang dikemukakan oleh Imam al-Bukhari, yaitu sanad bersambung, seluruh periwayat dalam sanad suatu hadis harus adil dan dhabith (Tsiqah) serta hadis tersebut terhindar dari syadz dan illat.
Syarat kesahihan hadis menurut Imam Muslim yang berbeda dengan Imam Bukhari terletak pada kemuttashilan sanad (ketersambungan sanad). Imam Bukhari belum menilai suatu hadis sebagai hadis sahih, jika periwayatnya tidak pernah bertemu dengan periwayat terdekat sebelumnya. Pertemuan antara periwayat merupakan syarat mutlak yang bisa dipercaya dalam kemuttashilan sanad. Hidup semasa saja tidak cukup untuk membuktikan kebenaran bahwa periwayat yang semasa dengan periwayat sebelumnya benar-benar telah menerima riwayat dari periwayat di atasnya. Sedangkan Imam Muslim mencukupkan semasa saja, tidak perlu pertemuan. Semasa telah dapat memberi keyakinan bahwa seorang periwayat dapat dipercaya telah menerima suatu hadis dari periwayat sebelumnya. Dalam hal ini, sanadnya telah dapat dikatakan bersambung (Muttashil).[7]

3.      Keutamaan Kitab Shahih Muslim
           Imam Al- Nawawi telah membuat satu pasal tersendiri mengenai keistimewaan- keistimewaan kitab Shahih Muslim. Dia berkata, “Di antara keistimewaan karya Imam Muslim ialah:
·         Dia membedakan secara tegas dan jelas antara penggunaan ungkapan “akhbaranaa” dengan ungkapan “haddatsanaa”. Kata “haddatsanaa” tidak boleh digunakan kecuali jika seorang rawi dalam kondisi berperan pasif. Artinya, rawi itu hanya mendengar dari gurunya, tidak membaca di depan nya secara seksama. Sedangkan kata “akhbaranaa” digunakan dalam kondisi rawi berperan aktif. Artinya, rawi itu membaca di depan gurunya dengan di dengarkan oleh gurunya itu secara seksama.
·         Ketelitiannya dalam memperhatikan lafadz hadits yang disampaikan oleh rawi- rawi.
·         Sikap konsekuen dan disiplinnya dalam hal periwayatan.
·         Sistematika penulisannya yang kronologis, di mana jalinan hadits- haditsnya memberikan kesan pembacanya untuk lebih mendalami pembahasan.[8]

C.      Hadits Shahih.
Shahih menurut bahasa,seperti yang dikatakan oleh Mahmud Yunusberasal dari kata:
صَحَّ - يَصِحُّ - صَحًّا -  صِحَّةً– صَحًاحًا
Yang artinya: “Sehat, tidak sakit, sembuh, benar, selamat”.[9]
Sedangkan Shahih secara istilah sebagaimana yang dikemukakan olehMahmud Thahan adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan nukilan dari orang yang adil dan tepat dari semisalnya semula sampai pada yang terakhir, dengan tidak ada syadz dan ‘illat.[10]

Contoh Hadits Shahih:[11]
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْن يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِاللهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م قَالَ: اِذَا كَاَنُوْا ثَلَاثَةً فَلًا يَتَنَاجَى اِثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ.
Artinya: (Kata Bukhari): Telah menceritakan kepada kami,Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisik dengan tidak bersama yang ketiganya”.
v Pembagian Hadits Shahih.
Hadits Shahih itu ada dua rupa:[12]
§ Shahih liDzatihi, artinya yang sah karena dzatnya, yakni yang shahih tidak dengan bantuan keterangan lain. Sedangkan menurut istilah adalah “satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dla-bith yang sempurna, serta tidak ada syu-dzudz dan tidak ada ‘illah yang tercela”.
Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْن يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِاللهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م قَالَ: اِذَا كَاَنُوْا ثَلَاثَةً فَلًا يَتَنَاجَى اِثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ.

§ Shahih liGhairihi, artinya yang shahih karena yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad) atau keterangan lain. Shahih li ghairihi menurut ketetapan ahli Hadits ada macam-macam rupa, yaitu:
1.      Hadits Hasan li dzatihi, dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya.
Contoh:
حَدَّثَنَا عمرو بْن عَلي قَالَ: حَدَّثَنَا اَبُوْ قُتَيبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدالرَّحْمَن ابْن عَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ : سَمِعْتُ اِبْنُ عمر يَتَمَثَّلْ بِشِعْر اَبِيْ طَالِبٍ..... (البخاري)
1.    Hadits Hasan li dzatihi, dibantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat rendah.
Contoh:
حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْن بَشَّار حَدَثَّنَا عَبْد الرَّحْمَن حَدَثَّنَا سُفْيَان عَنْ عَبْدِالله ابْنِ مُحَمَّد بْنِ عَقِيْل   عَنْ مُحَمَّد بْنِ الْحَنَفِيَّة عَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ: مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطّهُوْرُ وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.(الترمذي)

2.    Hadits Hasan li dzatihi, atau hadits lemah yang isinya setuju dengan salah satu ayat Al-Qur’an atau yang cocok dengan salah satu dari pokok-pokok agama.
Contoh:
تَنَظّفُوْا فَاِنَّ الْاِسْلَامَ نَظِيْفٌ.(ابن حبان)                                
3.    Hadits yang tidak begitu kuat, tetapi diterima baik oleh ulama’-ulama’.
Contoh:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُه وَالْحِلُّ مَيْتَتُهُ.

v Syarat-Syarat Hadits Sahih:[13]
     Dari beberapa definisi tentang hadis shahih sebagaimana tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis shahih adalah:
a.  Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa tiap-tiap perawinya dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya.Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi sahih sejak para perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan. Dari pengertian seperti ini, maka hadis mursal, munqathi’, mu,dhal, dan mu’allaq, tidak tergolong hadis shahih.
b.  Perawinya Adil
Kata ‘adil menurut bahasa biasa berarti lurus, tidak berat sebelah tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, jujur.Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang emndorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya. Dengan demikian, maka yang dimaksudkan dengan perawi dalam periwayatan sanad hadis adalah bahwa semua perawinya, di samping harus Islam dan baligh, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)  Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya;
b)  Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa kecil; dan
c)  Senantiasa memelihara ucapan dn perbuatan yang dapat menodai muru’ah, yakni suatu sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan sia-sia ataupun perbuatan dosa.
Sifat-sifat adil para perawinya sebagaimana dimaksud dapat diketahui melalui:
a)  Popularitas keutamaan perawi dikalangan ulama ahli hadis, perawinya terkenal dengan keutamaan pribadinya.
b)  Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan pada diri perawi yang dimaksud.
c)  Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada kesepakatan diantara perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.
Khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, menurut jumhur ulama ahli sunnah, dikatakan bahwa seluruh sahabat dikatakan adil. Sedangkan golongan mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali bin Abi Thalib dianggap fasiq, yang periwayatannya ditolak.


c.  Perawinya Dhabit
Kata “dhabith” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.Seseorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terdap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakal diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami isi apa yang didengar, terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
Yang dicakup oleh pengertian dhabit dalam periwayatannya di sini ada dua kategori, yaitu dhabit fi al-shadr dan dhabit fi al-kitab. Yang dimaksud dengan dhabit fi al-shadr, ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadits sampai meriwayatkannya kepada orang lain; sedangkan dhabit fi al-kitab, ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama, dapat diketahui melalui:
a)  Kesaksian para ulama;
b)  Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhabitannya.
Kedhabitan seorang perawi, tidak berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Mungkin saja kekeliruan atau kesalahan itu sesekali terjadi pada seorang perawi.Yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.
d.  Tidak Syadz (Janggal)
Yang dimaksud dengan syadz atau syudzuz (jama’ dari syadz) di sini adalah hadis yang bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Ini pengertian yang dipegang oleh Al-Syafi’I dan diikuti oleh kebanyakan para ulama’ lainnya.
Melihat kepada pengertian syadz diatas, dapat dipahami, bahwa hadis yang tidak syadz (ghair syadz), adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
Al-Hakim Al-Naisaburi memasukkan fard (hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqqah, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya), ke dalam kelompok hadis syadz. Pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli hadis.
e.  Tidak ber-illat (Ghair Mu’allal)
Kata ‘illat yang bentuk jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca.Dengan pengertian ini, maka yang disebut hadis berillat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Menurut istilah, ‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadis tersebut terlihat shahih.Adanya kesamaran pada hadis tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih.Dengan demikian maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
‘Illat hadis, dapat erjadi baik dari sanad maupun pada matan atau keduanya secara bersama-sama.Namun demikian, illat yang paling banyak, terjadi pada sanad, seperti menyebutkan muttashil terhadap hadis yang munqathi’ atau mursal (terputus sanadnya).
v Tingkatan Hadits Shahih:[14]
Para ahli hadits menguraikan tingkatan-tingkatan hadits shahih, pada umumnya, secara berurutan sebagai berikut:
1.    Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
2.    Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri (tanpa Muslim).
3.    Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri (tanpa Bukhari).
4.    Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan Muslim, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij oleh keduanya.
5.    Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij olehnya.
6.    Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh  Muslim, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij olehnya.
7.    Hadits-hadits yang disahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan Muslim.

v  Kehujjahan Hadis Sahih
Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul sera ahli fiqh sepakat menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.Kesepakatan ini terjadi pada soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah (keyakinan).
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu al-Qur’an dan hadis mutawatir untuk menetapkanhal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadis ahad.Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis shahih memfaedahkan Ilmu Qath’I dan wajib diyakini.Dengan demikian hadis shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.
Perlu diketahui bahwa martabat hadis sahih ini tergantung pada kedhabitan dan keadilan para perawinya.Semakin dhabit dan adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.
Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga, yaitu: 1. Ashah al-asanid, yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Para ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan peringkat pertama ini:
Al-Suyuthi menguraikannya sebagai berikut:
a.  Menurut Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq ibn Rahuwaih, adalah jalur sanad Ibn Syihab Al-Zuhry dari Slim ibn Abdullah ibn Umar dari Ibn Umar.
b.  Menurut Ibn Al-Madiny, Al-Fallas ‘dan Sulaiman ibn Harb, adalah Muhammad ibn Sirin – ‘Abidah Al-Salmany – Ali bin Abi Thalib
c.  Menurut Yahya ibn Ma’in adalah Sulaiman Al-A’masy ibn Ibrahim – Ibrahim bin Yazid Al-Nakha’iy – Al-Qamah ibn Qais –Abdullah Ibn Mas’ud
d.  Menurut Abu Bakr ibn Abi Syaibah, adalah Al-Zuhry – Ali bin Husain – Husein ibn Ali – Ali ibn Abi Thalib
e.  Menurut Imam Al-Bukhari, adalah Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’ mawla Ibn Umar, Ibn Umar.
Berdasarkan perbedaan seperti ini, Abu ‘Abdillah Al-Hakim mengatakan bahwa dasar penetapan “ashahh al-asanid” ada yang mengkhususkan sahabat tertentu dan adan yang megkhususkan kepada daerah tertentu.
2. ahsanul al-asanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah tingkat pertama di atas, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Sabit dari Anas
3. adh’aful al-asanid, yakni rangkaian sanad hadis yang tingkatannya kedua, seperti hadis riwayat Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah.

D.  Bab-bab dalam Kitab Shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim
Bab-bab dalam Kitab Shahih al-Bukhari:
1.      Bad’ul al-wahyi                                              31. Shalat al-tarawih
2.      Al-iman                                                           32. Fadl lail al-qadr
3.      Al-‘ilm                                                             33. Al-i’tikaf
4.      Al- wudlu’                                                       34. Al-buyu’
5.      Al-ghusl                                                           35. Al-salam
6.      Al-haidl                                                           36. Al-suf’ah
7.      At-tayammum                                                 37. Al-ijarah
8.      Al-shalat                                                          38. Al-hiwalah
9.      Mawaqit al-shalat                                            39. Al-kafalah
10.  Al-adzan                                                          40. Al-wakalah
11.  Al-jumu’ah                                                      41. Al-hartsu wa al-muzaraah
12.  Shalat al-khauf                                                42. Al-syurbu wa al-musaqah
13.  Al-idain                                                           43. Al-istiqradl
14.  Al-witr                                                             44. Al-khusumat
15.  Al-istisqa’                                                        45. Al-luqathah
16.  Al-kusuf                                                          46. Al-madlalim wa al-ghashbu
17.  Sujud Al-qur’an                                              47. Al-syirkah
18.  Taqshir al-shalat                                              48. Al-rahnu
19.  At-tahajjud                                                      49. Al-‘itqu
20.  Fadl al-shalat fi masjid                                    50. Al-mukatabah
makkah wal madinah                                      51. Al-hibbah
21.  Al amal fi al-shalat                                          52. Al-syahadah
22.  Al-sahwu                                                         53. Al-shulhu
23.  Al-janaiz                                                          54. Al-Syuruth
24.  Al-zakat                                                            55. Al-washaya
25.  Al-haji                                                             56. Al-jihad wa al-sair
26.  Al-umrah                                                         57. Faradh al-khumus
27.  Al-muhshir                                                      58. Al-jizyah wa al-muwadaah
28.  Jaza’al shaid                                                    59. Bad’u al-khalqi
29.  Fadlail al-madinah                                           60. Al-anbiya’
30.  Al-shaum                                                         61. Al-manaqib














62. Fadlail al-shahabah                                  80. Al-dawaat
63. Manaqib al-anshar                                    81. Al-riqaq
64. Al-maghazi                                               82. Al-qadru
65. Tafsir al-qur’an                                         83. Al-aiman wa al-nudzur
66. Fadlail al-qur’an                                       84. Al-kafarat
67. Al-nikah                                                   85. Al-faraidl
68. Al-thalaq                                                  86. Al-hudud
69. Al-nafaqat                                                87. Al-diyat
70. Al-ath’imah                                              88. Istitabat al-murtaddin
71. Al-aqiqah                                                 89. Al-ikrah
72. Al-dzabaih wa al-shaid                            90. Al-hiyal
73. Al- adlahi                                                 91. ta’bir al-ru’ya
74. Al- asyribah                                              92. Al- fitan
75. Al-Mardla                                                93. Al-ahkam
76. Al-thibb                                                    94. Al-tamanni
77. Al-libas                                                     95. Akhbar al-ahad
78. Al-adab                                                    96. Al-itisham bi al-kitab wa al-sunnah
79. Al-isti’dzan                                              97.Al- tauhid[15]

Bab-bab dalam Kitab Shahih Muslim:
1.         Al-iman                                                   15. Al-hajj
2.         At-thaharah                                             16. Al-nikah
3.         Al-haidl                                                   17. Al-radla’
4.         Al-shalat                                                 18. Al-thalaq
5.         Al-masjid wa mawadli’ Al-shalat           19. Al-li’an
6.         Shalat al-musafirin wa qashriha              20. Al-‘itq
7.         Al-jumu’at                                              21. Al-buyu’
8.         Al-idain                                                   22. Al-musaqah
9.         Al-istisqa’                                               23. Al-faraidl
10.     Al-kusuf                                                  24. Al-hibbaat
11.     Al-janaiz                                                 25. Al-washiyyat
12.     Al-zakat                                                  26. Al-nudzur
13.     Al-shiyam                                               27. Al-aiman
14.     Al-i’tikaf                                                
28. Al-qasamah wa al-muhabirin                   41. Al-syi’r
       Wa al-qishash                                          42. Al-ru’ya
29. Al-hudud                                                 43. Al-fadlail
30. Al-uqdliyah                                              44. Fadlail al-shahabah
31. Al-luqathah                                              45. Al-birru wa al-shilah wa al-aadab
32. Al-jihad wa al-sair                                    46. Al-qadr
33. Al-imarah                                                 47. Al-‘ilm
34. Al-sahid wa al-dzabaih                            48. Al-dzikru wa al-du’a’
35. Al-adlahi                                                  49. Al-taubah
36. Al-asyribah                                               50. Shifat Al-munafiqin
37. Al-libas                                                     51. Al-jannah
38. Al-aadab                                                  52. Al-fitan
39. Al-salam                                                   53. Al-zuhd
40. Al-fdhun min al-adab                              54. Al-tafsir[16]

E.  Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih muslim Belum Mencakup Semua hadis dan Riwayat yang Shahih
              Kitab shahih al-Bukhari sebenarnya belum mencakup seluruh hadis shahih. Hal ini sudah dijelaskan sendiri oleh al-Bukhari. Dia berkata ”Aku tidak memasukkan kedalam kitab Al-jami’u Al-shahihu ini kecuali hadis yang shahih saja, dan aku tinggalkan hadis-hadis lain yang shahih karena sesuatu hal atau karena terlalu banyak.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan aku meninggalkan pula hadis-hadis yang shahih ini sehingga tidak terlalu panjang”.
              Di dalam Fathu Al-mughits, Al-Sakhawi berkata, “Bahwasanya al-Bukhari dan Muslim tidak memasukkan semua hadis shahih ke dalam kitab shahihnya. Bahkan, jika dikatakan bahwa kedua kitab shahih al-Bukhari dan Muslim mencakup semua hadis shahih menurut syarat-syarat keduanya,maka perkataan itu lebih terarah, karena masing-masing dari kedua imam itu telah menjelaskan, bahwa mereka tidak memasukkan semua hadis shahih, sebagaimana pernyataan Imam Muslim sendiri, “Tidak semua hadis shahih yang ada padaku aku letakkan dalam kitabku ini, melainkan aku meletakkan hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya.”
              Para ulama meriwayatkan, dari Muslim, “Bahwa orang-orang telah mengkritik usahanya menghimpun hadis shahih dalam kitab shahihnya. Mereka mengatakan, bahwa dengan usahanya itu sama halnya dia memberi peluang kepada para ahli bid’ah untuk mendapatkan argumentasi pilihan, di mana ketika mereka diserang dengan suatu hadis, mereka akan mengatakan, bahwa hadis itu tidak terdapat dalam kitab shahih.” Imam Muslim menjawab, “Bahwa semua hadis yang aku riwayatkan di dalam kitabku ini adalah shahih, dan aku tidak mengatakan, hadis-hadis yang tidak aku riwayatkan di dalam kitabku ini tidak mempunyai nilai shahih.”
              Ibnu Al-Shalah berkata, “Kitab Al-Mustadrak, karangan Al-Hakim, adalah sebuah kitab yang besar sekali, berisi banyak hadis yang tidak disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim, meskipun sebagian hadis-hadis itu masih menjadi pembicaraan, namun di antara hadis-hadis itu banyak juga yang benar-benar shahih.” [17]

F.   Sistem Para Penyusun Kitab Hadis dalam Menyebutkan Nama Rawi
              Suatu hadis terkadang mempunyai banyak sanad. Misalnya ada sebuah hadis di samping terdapat dalam shahih Bukhari juga terdapat dalam shahih Muslim, juga dalam sunah Abu Dawud, Musnad Imam Ahmad dan lain-lain sebagainya. Untuk menghemat mencantumkan nama-nama rawi yang banyak jumlahnya tersebut, penyusun kitab hadis biasanya tidak mencantumkan nama-nama itu seluruhnya, melainkan hanya merumuskan dengan bilangan yang menunjukkan banyak atau sedikitnya rawi pada akhir isi hadisnya. Misalnya rumusan yang diciptakan oleh Ibn Isma’il As-san’ani dalam kitab Sulubus Salam:
1.    اخرجه السبعة
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, At- Tirmidzi, An-nasa’i, dan Ibnu Majah.
2.    اخرجه الستة
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh enam orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut di atas selain Imam Ahmad.
3.    اخرجه الخمسة
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh lima orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut di atas, dikurangi Bukhari dan Muslim.
4.    اخرجه الاربعه واحمد
Maksudnya: hadis tersebut diriwayatkan oleh para ashabus sunan yang empat di tambah Imam Ahmad.
5.    اخرجه الاربعه
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh para ashabus sunan yang empat, yaitu: Abu Dawud, At-tirmidzi, An-nasa’i, dan ibnu Majah.
6.    اخرجه الثلاثة
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi, yaitu Abu Dawud, At-tirmidzi, dan An-nasa’i
7.    اخرجه الشيخان
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan kedua Imam Hadis, yakni Bukhari dan Muslim.
8.    اخرجه الجماعة
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh rawi- rawi hadis yang banyak sekali jumlahnya.
              Adapun rumusan yang dikemukakan oleh Mansur Ali Nasif dalam kitabnya At-taj’ul Jami’ lil Ushul, juz 1 halaman 1 sebagai berikut:
1.    رواه الشيخان
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan kedua Imam Hadis, yakni Bukhari dan Muslim.
2.    رواه الثلاثة
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
3.    رواه الاربعه
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi tersebut di atas, ditambah At-tirmidzi.


4.    رواه الخمسة
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh empat orang rawi di atas, ditambah An- nasa’i.
5.    رواه اصحاب السنن
Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh tiga orang pemilik kitab-kitab sunan, yakni Abu Dawud, At-tirmidzi, dan An-nasa’i.
              Imam As-syaukani dalam kitabnya Nailul Autar juz 1 halaman 22 mengemukakan rumusan yang berbeda dengan rumusan-rumusan tersebut di atas, misalnya متفق عليه  Maksudnya: hadis itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad. Sedangkan kalau hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, di rumuskan dengan اخرجه البخارى ومسلم   [18]



















BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
            Nama lengkap Imam Al- Bukhari ialah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al- Ju’fi Al-Bukhari, dilahirkan pada hari Jum’at malam tanggal 13 Syawal 194 H. Beliau menyusun kitab yang diberi nama “Al- Jami’u Al- Shahihu Al- Musnadu Al- Mukhtasharu min Hadiitsi Rasuulillah wa Sunanihi wa Ayyaamini”. Kriteria hadis yang terdapat pada kitab Shahih Al Bukhari meliputi, sanadnya harus muttashil, rawi- rawinya adil dan dhabit.
           Nama lengkap Imam Muslim ialah Abu Al- Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al- Qusyairi Al- Naisaburi, beliau lahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. Shahih Muslim merupakan kitabnya yang popular di seluruh dunia dan namanya terkenal di mana- mana, yang di dalam kitabnya itu dia menghimpun sebanyak 12.000 hadits yang diseleksinya dari 300.000 hadits. Syarat- syarat keshahihan hadis menurut Imam Muslim tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang dikemukakan oleh Imam al-Bukhari, yang membedakan hanya terletak pada kemuttashilan sanad.

B.       Saran.
Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang  lebih baik .








DAFTAR PUSTAKA

M. Alwi Al- Maliki. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Umar. Ilmu Hadits. Kudus: Nora Media Interprise. 2011
http://kriteria hadis shahih dalam kitab imam muslim. diakses pada tanggal 08 Maret 2014 jam 11.50
Munzier Suprapta. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.
Hj. Masfu’ah. Modul Al-Qur’an dan Hadis MA NU Mu’allimat kelas


[1] M. Alwi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 256- 257

[2] Umar, Ilmu Hadits, Kudus, Nora Media Interprise, 2011, hlm. 156
[3]M. Alwi Al- Maliki, op.cit, hlm. 257- 259
[4] Ibid., hlm. 259- 262
[5] Ibid., hlm.270- 271
[6]  Ibid., hlm. 263
[7] http://kriteria hadis shahih dalam kitab imam muslim, diakses pada tanggal 08 Maret 2014 jam 11.50
[8] M. Alwi Al- Maliki, op.cit., hlm. 265- 267
[9] Drs. H. Umar, Lc, M.Ag. op.cit., hlm. 120.
[10]Ibid.,
[11]A Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung:Diponegoro. 1996. hlm. 30.
[12]Ibid.,hlm. 29-31.
[13] Drs. Munzier Suparta. op.cit.,hlm.130-133.
[14]Ibid,.hlm. 140.
[15] Umar, Ilmu Hadits, Kudus, Nora Media Interprise, 2011, hlm. 157-159
[16] Ibid., hlm. 160-161
[17] M. Alwi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 273-275
[18] Hj. Masfu’ah, Modul Al-Qur’an dan Hadis MA NU Mu’allimat kelas X, Hlm. 16-18