Kamis, 19 November 2015

good governance

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
Dewasa ini kasus korupsi semakin merebak di kalangan pejabat pemerintahan. Pelakunya tak hanya dari kalangan pemerintahan pusat, bahkan pemerintah daerahpun ikut memberikan sumbangsihnya dalam ranah perkorupsian. Salah satu penyebab maraknya kasus korupsi tersebut adalah lemahnya sistem pemerintahan di Indonesia.
Dalam rangka menetralisir maraknya kasus korupsi di Indonesia, pemerintah memperkenalkan istilah Good Governance yang di dalamnya mencakup beberapa prinsip, salah satunya adalah prinsip transparansi. Yang mana prinsip transparansi tersebut diharapkan mampu meminimalisir angka korupsi di Indonesia. Sehingga dengan konsep Good Governance akan tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai dan sejahtera.

1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Apa pengertian Good Governance?
2.        Apa urgensi dan kepentingan Good Governance?
3.        Apa saja prinsip-prinsip Good Governance?
4.        Apa saja langkah-langkah untuk mewujudkan Good Governance?

1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui  pengertian Good Governance.
2. Mengetahui urgensi dan kepentingan Good Governance.
3. Mengetahui prinsip-prinsip Good Governance.
4. Mengetahui langkah-langkah untuk mewujudkan Good Governance.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Good Governance
Istilah Good Governance berarti pemerintahan yang baik. Istilah ini pertama kali di populerkan oleh lembaga dana Internasional. Seperti World Bank, dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan kepada Negara-negara sasaran bantuan.[1]
            Menurut World Bank, definisi Good Governance ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo 2002:23).[2]
            United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for Sustainable Human development” (1997), mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai berikut: “Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to a country’s affairs at all levels and means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population” (Kepemimpinan adalah pelaksanaan kewenangan/ kekuasaan dalam bidang ekonomi, politik, dan administrative untuk mengelola berbagai urusan Negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrument kebijakan Negara untuk mendorong tercipta kondisi kesejahteraan integritas dan kohesitas social dalam masyarakat).[3]
            Menurut UK/ ODA (1993) menyatakan bahwa  istilah Good Governance dan Good Government itu  tidak ada bedanya, karena keduanya merujuk pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi. [4]
Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap sebagai sistem pemerintahan yang baik karena paling merefleksikan sifat-sifat Good Governance yang secara normatif dituntut kehadirannya bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan dunia. Ia merupakan alternatif dari sitem pemerintahan lain seperti totalitarinisme komunis atau otoritarianisme militer yang sempat popular di Negara-negara dunia ketiga di masa perang dingin.[5]
Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila ke-3 pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik, yaitu Negara, sektor swasta dan masyarakat madani ( civil society). Sektor swasta sebagai pengelola sumber daya diluar Negara dan birokrasi pemerintahanpun harus memberikan kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut. Penerapan cita Good Governance pada akhirnya mensyaratkan sebagai kekuatan penyeimbang Negara.[6]

2.2. Urgensi dan Kepentingan Good Governance
            Pada dasarnya konsep Good Governance memberikan rekomendasi pada sistem pemerintahan yang menekan kesetaraan antara lembaga-lembaga Negara baik ditingkat pusat maupun daerah, sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society). Good Governance berdasar pandangan ini berarti suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor swasta.
            Santosa menjelaskan bahwa Governance sebagaimana didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenagan tersebut bisa dikatakan baik (good/sound) jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntable, serta transparan (Mas Ahamad Santosa, h. 86).
Sesuai dengan pengertian di atas, maka pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang baik dalam ukuran proses maupun hasil-hasilnya. Proses pelaksanaan pembangunan sebagai wujud pelaksanaan amanah pemerintahannya juga harus dilakukan dengan penuh transparansi serta didukung dengan manajemen yang akuntable.[7]



2.3. Prinsip-prinsip Good Governance
            Dari berbagai hasil kajiannya, Lembaga Administrasi Negara (LAN)  telah menyimpulkan sembilan aspek dalam perwujudan Good Governance, yaitu:
1.      Partisipasipasi (Participation)
Semua warga masyarakat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk kepentingan mereka. Inilah persyaratan utama untuk mewujudkan cita good Governance dalam konteks memperbesar partisipasi masyarakat karena tidak mungkin sebuah bangsa akan maju dengan cepat, tanpa partisipasi penuh dari warganya.
2.      Penegakan Hukum (Rule of  law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik anarkis.
Sehubungan dengan itu, Santosa (2001, h. 87) menegaskan bahwa proses mewujudkan cita Good Governance harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan Rule of Law, dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
a.       Supremasi hukum (The supremacy of law)
b.      Kepastian hukum ( Legal certainty)
c.       Hukum yang responsif
d.      Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif
e.       Independensi peradilan[8]
3.      Transparansi (Transparency)
Salah satu yang menjadi persoalan bangsa diakhir masa orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi yang berkembang sejak awal masa kekuasaanya. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan. Oleh karena itu Michael Comdessus (1997) dalam salah satu rekomendasinya pada PBB untuk membantu  pemulihan perekonomian Indonesia menyarankan perlunya tindakan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, khususnya transparansi dalam transaksi keuangan Negara, pengelolaan uang negara di bank sentral (BI), serta transparansi sektor-sektor publik.
Gaffar menyimpulkan setidaknya ada 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
a.       Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan
b.      Kekayaan pejabat publik
c.       Pemberian penghargaan
d.      Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
e.       Kesehatan
f.       Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
g.      Keamanan dan ketertiban
h.      Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat[9]
4.      Responsif (Responsiveness)
Salah satu asas fundamental menuju cita Good Governance adalah responsif, yakni pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Sesuai dengan asas responsif, maka setiap unsur pemerintah harus memiliki 2 etik, yakni etik individual dan etik sosial. Kualifikasi etik individual menuntut mereka agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etik social menuntut mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik. Dalam upaya mewujudkan asas responsif pemerintah harus melakukan  upaya-upaya strategis dalam memberikan perlakuan yang humanis pada kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.[10]
5.      Orientasi kesepakatan (Consensus orientation)
Asas fundamental lain yang juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya menuju cita Good Governance adalah pengambilan putusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama. Cara pengambilan keputusan tersebut selain dapat menuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak juga dapat menarik komitmen komponen masyarakat sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive power (kekuatan memaksa) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan. [11]


6.      Keadilan (Equity)
Terkait dengan asas consensus, transparansi dan responsif, Good Governance juga harus didukung dengan asas equity, yakni kesamaandalam perlakuan (treatment) dan pelayanan sebagai sebuah bangsa yang beradab, dan terus berupaya menuju cita Good Governance , proses pengelolaan pemerintahan itu harus memberikan peluang, kesempatan, pelayanan dan treatment yang sama
Dalam koridor kejujuran dan keadilan. Tidak ada seorang atau sekelompok orang pun yang teraniaya dan tidak memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola pengelolaan pemerintahan seperti ini akan memperoleh dukungan serta partisipasi yang baik dari rakyat.
7.      Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
Pemerintah yang baik juga harus memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi, yakni berdayaguna dan berhasilguna. kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan efisiensi biasanya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan itu termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien. Citra itulah yang menjadi tuntutan dalam upaya mewujudkan cita Good Governance. [12]
8.      Akuntabilitas ( Accountability)
Asas akuntabilitas menjadi perhatian dan sorotan pada era reformasi ini, karena kelemahan pemerintahan Indonesia justru dalam kualitas akuntabilitasnya itu. Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju cita Good Governance.
Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut 2 dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya. Seperti, rakyat melalui partai politik, LSM dan institusi-institusi lainnya berhak meminta pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Sementara akuntabilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara, seperti Gubernur dengan DPRD tingkat I, Bupati dengan DPRD tingkat II, dll.[13]
9.      Visi strategis (Strategic vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan untuk menghadapu masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan Good Governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat. Salah satu contoh, kecerobohan bangsa Indonesia dalam menerapkan kebijakan devisa bebas di era 1980-an dan memberi peluang pada sektor swasta untuk melakukan direct loan (pinjaman langsung) terhadap berbagai lembaga keuangan di luar negri, dengan  tanpa memperhitungkan jadwal pembayaran yang rasional, telah mengakibatkan krisis keuangan di akhir 1990-an, yang mengakibatkan nilai tukar dolar meningkat dan kurs rupiah anjlok. Dengan demikian, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini, harus memperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau duapuluh tahun kedepan. [14]

2.4. Langkah-langkah Perwujudan Good Governance
            Untuk mewujudkan cita Good Governance dengan asas-asas fundamental sebagaimana telah dipaparkan diatas, setidaknya harus melakukan 5 aspek prioritas, yakni:
1.   Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
      Lembaga perwakilan rakyat , yakni DPR, DPD dan DPRD harus mampu menyerap dan mengartikulasikan berbagai aspirasi masyarakat dalam berbagai bentuk program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat serta mendelegasikannya pada eksekutif untuk merancang program-program operasional sesuai rumusan-rumusan yang ditetapkan dalam lembaga perwakilan tersebut. Kemudian, lembaga perwakilan (DPR dan DPRD) terus melakukan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif, sehimgga seluruh gagasan dan aspirasi yang dikehendaki rakyat melelui para wakilnya itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh perangkat lembaga eksekutif.[15]
2.      Kemandirian Lembaga Peradilan
Kesan yang paling banyak dari pemerintahan orde baru adalah ketidakmandirian lembaga peradilan. Intervensi eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dalam menegakkan asas rule of law.[16]
3.   Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
            Jajaran birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan profesionalitas baik, memiliki integritas, berjiwa demokratis, dan memiliki akuntabilitas yang kuat sehingga memperoleh legitimasi dari rakyat yang dilayaninya.
 4.   Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat dan Aspiratif
Perwujudan cita Good Governance juga mensyaratkan partisipasi masyarakat sipil yang kuat. Proses pembangunan dan pengelolaan Negara tanpa melibatkan masyarakat madani akan sangat lamban karena potensi terbesar dari sumber daya manusia justru ada di kalangan masyarakat ini.[17]
5.   Penguatan Upaya Otonomi Daerah
Salah satu kelemahan dari pemerintahan masa lalu adalah kuatnya sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sehingga potensi-potensi daerah dikelola oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini telah menimbulkan akses yang amat parah, karena banyak daerah yang amat kaya dengan sumber daya alamnya, justru menjadi kantong-kantong kemiskinan nasional.[18]










BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Dari uraiandi atas, dapat disimpulkan bahwa Good Governance adalah pemerintahan yang baik. Ada 9 prinsip perwujudan Good Governance:
  1. Partisipasipasi (Participation)
  2. Penegakan Hukum (Rule of  law)
  3. Transparansi (Transparency)
  4. Responsif (Responsiveness)
  5. Orientasi kesepakatan (Consensus orientation)
  6. Keadilan (Equity)
  7. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
  8. Akuntabilitas ( Accountability)
  9. Visi strategis (Strategic vision)
Langkah- langkah untuk mewujudkan Good Governance:
  1. Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
  2. Kemandirian Lembaga Peradilan
  3. Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
  4. Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat dan Aspiratif
  5. Penguatan Upaya Otonomi Daerah

3.2. Saran
            Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.






DAFTAR PUSTAKA


Dede Rosyada, dkk. Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah. 2000.
Yeremias T. Keban. Memahami Good Governance. Yogyakarta: Gava Media. 2004.
Srijanti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Jakarta: Graha ilmu. 2009.



[1] Dede Rosyada, dkk. Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000, hlm.  180
[2] Yeremias T. Keban, Memahami Good Governance, Yogyakarta, Gava Media, 2004, hlm. 20.
[3] Srijanti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Jakarta, Graha ilmu, 2009, hlm. 217
[4] Yeremias T. Keban, op.cit, hlm. 21
[5] Dede Rosyada, dkk.,  op.cit, hlm. 181
[6] Ibid., hlm. 182.
[7] Ibid., hlm. 181.
[8] Ibid., hlm. 183.
[9] Ibid., hlm. 184.
[10] Ibid., hlm. 185.
[11] Ibid., hlm. 185.
[12] Ibid., hlm. 186.
[13] Ibid., hlm. 188.
[14] Ibid., hlm. 189.
[15] Ibid., hlm. 190.
[16] Ibid., hlm. 191.
[17] Ibid., hlm. 192.
[18] Ibid., hlm. 192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar