BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Dewasa ini kasus korupsi semakin merebak di kalangan
pejabat pemerintahan. Pelakunya tak hanya dari kalangan pemerintahan pusat,
bahkan pemerintah daerahpun ikut memberikan sumbangsihnya dalam ranah
perkorupsian. Salah satu penyebab maraknya kasus korupsi tersebut adalah
lemahnya sistem pemerintahan di Indonesia .
Dalam rangka menetralisir maraknya kasus korupsi di Indonesia ,
pemerintah memperkenalkan istilah Good Governance yang di dalamnya
mencakup beberapa prinsip, salah satunya adalah prinsip transparansi. Yang mana
prinsip transparansi tersebut diharapkan mampu meminimalisir angka korupsi di Indonesia .
Sehingga dengan konsep Good Governance akan tercipta kehidupan berbangsa dan
bernegara yang aman, damai dan sejahtera.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian Good Governance?
2.
Apa
urgensi dan kepentingan Good Governance?
3.
Apa saja
prinsip-prinsip Good Governance?
4.
Apa saja
langkah-langkah untuk mewujudkan Good Governance?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Good
Governance.
2. Mengetahui urgensi dan kepentingan Good Governance.
3. Mengetahui prinsip-prinsip Good Governance.
4. Mengetahui langkah-langkah untuk mewujudkan Good Governance.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Good Governance
Istilah Good Governance berarti pemerintahan yang baik.
Istilah ini pertama kali di populerkan oleh lembaga dana Internasional. Seperti
World Bank, dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan
yang diberikan kepada Negara-negara sasaran bantuan.[1]
Menurut World Bank,
definisi Good Governance ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi dan
pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan
disiplin anggaran serta penciptaan legal bagi tumbuhnya aktivitas usaha
(Mardiasmo 2002:23).[2]
United Nations
Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul
“Governance for Sustainable Human development” (1997), mendefinisikan
kepemerintahan (governance) sebagai berikut: “Governance is the exercise of
economic, political, and administrative authority to a country’s affairs at all
levels and means by which states promote social cohesion, integration, and
ensure the well being of their population” (Kepemimpinan adalah pelaksanaan
kewenangan/ kekuasaan dalam bidang ekonomi, politik, dan administrative untuk
mengelola berbagai urusan Negara pada setiap tingkatannya dan merupakan
instrument kebijakan Negara untuk mendorong tercipta kondisi kesejahteraan
integritas dan kohesitas social dalam masyarakat).[3]
Menurut UK/ ODA
(1993) menyatakan bahwa istilah Good
Governance dan Good Government itu tidak
ada bedanya, karena keduanya merujuk pada aspek-aspek normatif pemerintahan
yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik
hingga ekonomi. [4]
Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap
sebagai sistem pemerintahan yang baik karena paling merefleksikan sifat-sifat
Good Governance yang secara normatif dituntut kehadirannya bagi suksesnya suatu
bantuan badan-badan dunia. Ia merupakan alternatif dari sitem pemerintahan lain
seperti totalitarinisme komunis atau otoritarianisme militer yang sempat
popular di Negara-negara dunia ketiga di masa perang dingin.[5]
Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud
bila ke-3 pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik, yaitu Negara, sektor
swasta dan masyarakat madani ( civil society). Sektor swasta sebagai pengelola
sumber daya diluar Negara dan birokrasi pemerintahanpun harus memberikan
kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut. Penerapan cita Good
Governance pada akhirnya mensyaratkan sebagai kekuatan penyeimbang Negara.[6]
2.2. Urgensi dan Kepentingan Good Governance
Pada dasarnya
konsep Good Governance memberikan rekomendasi pada sistem pemerintahan yang
menekan kesetaraan antara lembaga-lembaga Negara baik ditingkat pusat maupun
daerah, sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society). Good Governance
berdasar pandangan ini berarti suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara
yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan
sektor swasta.
Santosa menjelaskan
bahwa Governance sebagaimana didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik,
ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan
kewenagan tersebut bisa dikatakan baik (good/sound) jika dilakukan dengan
efektif dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana
demokratis, akuntable, serta transparan (Mas Ahamad Santosa, h. 86).
Sesuai dengan pengertian di atas, maka pemerintahan yang
baik adalah pemerintahan yang baik dalam ukuran proses maupun hasil-hasilnya.
Proses pelaksanaan pembangunan sebagai wujud pelaksanaan amanah pemerintahannya
juga harus dilakukan dengan penuh transparansi serta didukung dengan manajemen
yang akuntable.[7]
2.3. Prinsip-prinsip Good Governance
Dari berbagai hasil
kajiannya, Lembaga Administrasi Negara (LAN)
telah menyimpulkan sembilan aspek dalam perwujudan Good Governance,
yaitu:
1.
Partisipasipasi
(Participation)
Semua warga masyarakat berhak
terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan yang sah untuk kepentingan mereka. Inilah persyaratan utama untuk
mewujudkan cita good Governance dalam konteks memperbesar partisipasi
masyarakat karena tidak mungkin sebuah bangsa akan maju dengan cepat, tanpa partisipasi
penuh dari warganya.
2.
Penegakan
Hukum (Rule of law)
Partisipasi masyarakat dalam proses
politik dan perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum.
Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan
berubah menjadi proses politik anarkis.
Sehubungan dengan itu, Santosa (2001, h. 87) menegaskan
bahwa proses mewujudkan cita Good Governance harus diimbangi dengan komitmen
untuk menegakkan Rule of Law, dengan karakter-karakter antara lain sebagai
berikut:
a.
Supremasi
hukum (The supremacy of law)
b.
Kepastian
hukum ( Legal certainty)
c.
Hukum yang
responsif
d.
Penegakan hukum
yang konsisten dan nondiskriminatif
e.
Independensi
peradilan[8]
3.
Transparansi
(Transparency)
Salah satu yang menjadi persoalan
bangsa diakhir masa orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi yang
berkembang sejak awal masa kekuasaanya. Salah satu yang dapat menimbulkan dan
memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak
transparan. Oleh karena itu Michael Comdessus (1997) dalam salah satu rekomendasinya
pada PBB untuk membantu pemulihan
perekonomian Indonesia menyarankan perlunya tindakan pemberantasan korupsi dan
penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, khususnya transparansi dalam
transaksi keuangan Negara, pengelolaan uang negara di bank sentral (BI), serta
transparansi sektor-sektor publik.
Gaffar menyimpulkan setidaknya ada 8
aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan,
yaitu:
a.
Penetapan
posisi, jabatan atau kedudukan
b.
Kekayaan
pejabat publik
c.
Pemberian
penghargaan
d.
Penetapan
kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
e.
Kesehatan
f.
Moralitas
para pejabat dan aparatur pelayanan publik
g.
Keamanan
dan ketertiban
h.
Kebijakan
strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat[9]
4.
Responsif
(Responsiveness)
Salah satu asas fundamental menuju
cita Good Governance adalah responsif, yakni pemerintah harus peka dan cepat
tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Sesuai dengan asas responsif,
maka setiap unsur pemerintah harus memiliki 2 etik, yakni etik individual dan
etik sosial. Kualifikasi etik individual menuntut mereka agar memiliki kriteria
kapabilitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etik social menuntut mereka
agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik. Dalam upaya
mewujudkan asas responsif pemerintah harus melakukan upaya-upaya strategis dalam memberikan
perlakuan yang humanis pada kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.[10]
5.
Orientasi
kesepakatan (Consensus orientation)
Asas fundamental lain yang juga harus
menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya
menuju cita Good Governance adalah pengambilan putusan melalui proses
musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama. Cara
pengambilan keputusan tersebut selain dapat menuaskan semua pihak atau sebagian
besar pihak juga dapat menarik komitmen komponen masyarakat sehingga memiliki legitimasi
untuk melahirkan coercive power (kekuatan memaksa) dalam upaya mewujudkan
efektifitas pelaksanaan keputusan. [11]
6.
Keadilan
(Equity)
Terkait dengan asas consensus,
transparansi dan responsif, Good Governance juga harus didukung dengan asas
equity, yakni kesamaandalam perlakuan (treatment) dan pelayanan sebagai sebuah
bangsa yang beradab, dan terus berupaya menuju cita Good Governance , proses
pengelolaan pemerintahan itu harus memberikan peluang, kesempatan, pelayanan
dan treatment yang sama
Dalam koridor kejujuran dan keadilan. Tidak ada seorang
atau sekelompok orang pun yang teraniaya dan tidak memperoleh apa yang menjadi
haknya. Pola pengelolaan pemerintahan seperti ini akan memperoleh dukungan
serta partisipasi yang baik dari rakyat.
7.
Efektivitas
(Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
Pemerintah yang baik juga harus memenuhi
kriteria efektivitas dan efisiensi, yakni berdayaguna dan berhasilguna. kriteria
efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau
sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial.
Sedangkan efisiensi biasanya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk
kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan itu termasuk dalam kategori
pemerintahan yang efisien. Citra itulah yang menjadi tuntutan dalam upaya
mewujudkan cita Good Governance. [12]
8.
Akuntabilitas
( Accountability)
Asas akuntabilitas menjadi perhatian
dan sorotan pada era reformasi ini, karena kelemahan pemerintahan Indonesia
justru dalam kualitas akuntabilitasnya itu. Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban
pejabat publik terhadap masyarakat. Setiap pejabat publik dituntut untuk
mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas
sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas
dalam upaya menuju cita Good Governance.
Secara teoritik, akuntabilitas
menyangkut 2 dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas
horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang
kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya. Seperti, rakyat
melalui partai politik, LSM dan institusi-institusi lainnya berhak meminta
pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Sementara akuntabilitas
horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang
setara, seperti Gubernur dengan DPRD tingkat I, Bupati dengan DPRD tingkat II,
dll.[13]
9.
Visi
strategis (Strategic vision)
Visi strategis adalah
pandangan-pandangan untuk menghadapu masa yang akan datang. Kualifikasi ini
menjadi penting dalam kerangka perwujudan Good Governance, karena perubahan
dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat. Salah satu contoh,
kecerobohan bangsa Indonesia dalam menerapkan kebijakan devisa bebas di era
1980-an dan memberi peluang pada sektor swasta untuk melakukan direct loan
(pinjaman langsung) terhadap berbagai lembaga keuangan di luar negri, dengan tanpa memperhitungkan jadwal pembayaran yang
rasional, telah mengakibatkan krisis keuangan di akhir 1990-an, yang
mengakibatkan nilai tukar dolar meningkat dan kurs rupiah anjlok. Dengan
demikian, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini, harus memperhitungkan
akibatnya pada sepuluh atau duapuluh tahun kedepan. [14]
2.4. Langkah-langkah Perwujudan Good Governance
Untuk mewujudkan
cita Good Governance dengan asas-asas fundamental sebagaimana telah dipaparkan
diatas, setidaknya harus melakukan 5 aspek prioritas, yakni:
1. Penguatan Fungsi dan
Peran Lembaga Perwakilan
Lembaga
perwakilan rakyat , yakni DPR, DPD dan DPRD harus mampu menyerap dan
mengartikulasikan berbagai aspirasi masyarakat dalam berbagai bentuk program
pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat serta
mendelegasikannya pada eksekutif untuk merancang program-program operasional
sesuai rumusan-rumusan yang ditetapkan dalam lembaga perwakilan tersebut.
Kemudian, lembaga perwakilan (DPR dan DPRD) terus melakukan fungsi kontrolnya
terhadap lembaga eksekutif, sehimgga seluruh gagasan dan aspirasi yang
dikehendaki rakyat melelui para wakilnya itu dapat dilaksanakan dengan baik
oleh seluruh perangkat lembaga eksekutif.[15]
2.
Kemandirian
Lembaga Peradilan
Kesan yang paling banyak dari
pemerintahan orde baru adalah ketidakmandirian lembaga peradilan. Intervensi
eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu
menjadi pilar terdepan dalam menegakkan asas rule of law.[16]
3.
Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
Jajaran
birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan profesionalitas baik,
memiliki integritas, berjiwa demokratis, dan memiliki akuntabilitas yang kuat
sehingga memperoleh legitimasi dari rakyat yang dilayaninya.
4. Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat
dan Aspiratif
Perwujudan cita Good Governance juga
mensyaratkan partisipasi masyarakat sipil yang kuat. Proses pembangunan dan
pengelolaan Negara tanpa melibatkan masyarakat madani akan sangat lamban karena
potensi terbesar dari sumber daya manusia justru ada di kalangan masyarakat
ini.[17]
5. Penguatan Upaya Otonomi
Daerah
Salah satu kelemahan dari
pemerintahan masa lalu adalah kuatnya sentralisasi kekuasaan pada pemerintah
pusat, sehingga potensi-potensi daerah dikelola oleh pemerintah pusat.
Kebijakan ini telah menimbulkan akses yang amat parah, karena banyak daerah
yang amat kaya dengan sumber daya alamnya, justru menjadi kantong-kantong
kemiskinan nasional.[18]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraiandi atas, dapat
disimpulkan bahwa Good Governance adalah pemerintahan yang baik. Ada 9 prinsip perwujudan
Good Governance:
- Partisipasipasi (Participation)
- Penegakan Hukum (Rule of law)
- Transparansi (Transparency)
- Responsif (Responsiveness)
- Orientasi kesepakatan (Consensus orientation)
- Keadilan (Equity)
- Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
- Akuntabilitas ( Accountability)
- Visi strategis (Strategic vision)
Langkah- langkah untuk mewujudkan Good Governance:
- Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
- Kemandirian Lembaga Peradilan
- Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
- Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat dan Aspiratif
- Penguatan Upaya Otonomi Daerah
3.2. Saran
Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat memberikan manfaat bagi
kita semua. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dede Rosyada, dkk.
Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani. Jakarta :
ICCE UIN Syarif Hidayatullah. 2000.
Yeremias T. Keban.
Memahami Good Governance. Yogyakarta :
Gava Media. 2004.
Srijanti, dkk. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Jakarta :
Graha ilmu. 2009.
[1] Dede Rosyada, dkk. Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani, Jakarta , ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000, hlm. 180
[2] Yeremias T. Keban, Memahami Good Governance, Yogyakarta , Gava Media, 2004, hlm. 20.
[3] Srijanti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Jakarta , Graha ilmu, 2009,
hlm. 217
[4] Yeremias T. Keban, op.cit, hlm. 21
[5] Dede Rosyada, dkk., op.cit,
hlm. 181
[6] Ibid., hlm. 182.
[7] Ibid., hlm. 181.
[8] Ibid., hlm. 183.
[9] Ibid., hlm. 184.
[10] Ibid., hlm. 185.
[11] Ibid., hlm. 185.
[12] Ibid., hlm. 186.
[13] Ibid., hlm. 188.
[14] Ibid., hlm. 189.
[15] Ibid., hlm. 190.
[16] Ibid., hlm. 191.
[17] Ibid., hlm. 192.
[18] Ibid., hlm. 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar