Kamis, 19 November 2015

METODE DISKUSI DAN TANYA JAWAB

METODE DISKUSI DAN TANYA JAWAB

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir
Dosen Pengampu: Drs. Zumrodi, M. Ag







Disusun Oleh :
1.      Rani Qoimatus Salafiyah              : 1310210009
2.      Tri Bowo Krismawanto                : 1310210020


 



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana metode diskusi dalam Al- Qur’an?
2.      Bagaimana metode tanya jawab dalam Al- Qur’an?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Metode Diskusi dalam Al- Qur’an
Teknik diskusi akan membawa kepada penarikan deduksi yang secara nyata merupakan unsur dalam sebuah diskusi. Kendatipun demikian, pendidikan tidak hanya terbatas pada Al- Qur’an yang bisa didiskusikan, sebaliknya dapat di peroleh dimana situasi- situasi kesimpulan dapat diambil, atau asas pokoknya sudah diteliti terlebih dahulu dengan obyek- obyek yang demikian banyak, atau melalui fakta- fakta yang telah dikemukakan. Unsur umumnya diteliti pada saat terdapat fakta- fakta yang berbeda- beda, kemudian atau satu dipisahkan.  Ayat Al- Qur’an di bawah ini memperlihatkan bagaimana Ibrahim mengikuti pemikiran deduksi untuk mencapai kesimpulan, bahwa sungguh yang ada di dalam ini hanyalah Tuhan semata Q.S. Al- An’am ayat 67 menyebutkan firman Allah:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
“Tatkala datang malam menyelimutinya, ia melihat bintang. Maka ia berkata, “Apakah ini Tuhanku?” namun setelah bintang itu menghilang, dia berkata: “Aku tidak suka kepada yang hilang”.[1]
            Dalam peristiwa yang sama juga didapatkan ketika ia melihat matahari dan rembulan yang dilihatnya jauh lebih besar ketimbang bintang- bintang. Maka Ibrahim melihat, bahwa unsur umum pada ketiga obyek penyelidikan dalam pemikirannya dapat timbul dan menghilang. Oleh karena pertanda inilah, tampaknya mengarah kepada perubahan pemikiran yang tidak mungkin dapat dideduksikan bahwa tidak satupun benda- benda yang dilihatnya itu dapat menjadi Tuhan yang pantas disembah.
            Pernyataan “inilah Tuhanku” yang diisyaratkan kepada Ibrahim telah memberikan tafsiran yang berbeda- beda menurut satu pandangan, Ibrahim yang secara faktual telah tertarik dengan objek- objek di atas, yang pantas dijadikan Tuhan sebelum dideduksikannya yang membawa kearah Tawhid . Thabari mengakui tafsiran ini, sementara Razi mengemukakan cara pandang yang tidak sama. Tafsiran kedua menyatakan, bahwa pernyataan Ibrahim tersebut untuk mengungkapkan pengakuan kepercayaan penyekutuan Tuhan secara jelas kepada Allah, agar dapat memperkenalkan pandanagan kepercayaan Tawhid yang benar sebagai argumen untuk kaumnya yang berkepercayaan syirik tersebut. Apabila kita terima tafsiran pertama, maka deduksi tersebut memberi pengertian bahwa Ibrahim telah membawa kepada pemikiran Tauhid. Sementara itu, apabila kita kita terima tafsiran kedua, maka deduksi yang digunakan itu untuk meyakinkan orang lain, kaum Nabi Ibrahim As. Dengan demikian, deduksi dalam kedua tafsiran tersebut diorganisir sebagai sebuah metoda yang mengarah kepada penemuan kebenaran.
            Dalam pendidikan, deduksi merupakan suatu metoda pemikiran logis yang amat bermanfaat. Fakta ini menjadi lebih jelas ketika harus diingat, bahwa bidang pengetahuan dari fakta- fakta yang tersebar- luas dari sana- sini ternyata tidak membentuk intisari pokok pengajaran. Formulasi dari suatu prinsip umum di luar fakta ternyata lebih berguna, sebab murid akan dapat membandingkan dan menyusun konsep- konsep. Namun pada saat konsep- konsep atau elemen- elemen yang ada itu terlepas kaitannya, maka murid tidak sama dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini mendorong agar guru dapat memainkan peranannya dalam mengembangkan pendidikan dengan menyediakan fakta- fakta kepada murid- muridnya, atau menyediakan materi- materi yang diperlukan, serta memberi kesempatan agar murid- murid dapat menemukan prinsip dasar umum. Dalam situasi- situasi dimana murid- murid hanya mengandalkan kemampuan coba- salah, atau ketika penemuan prinsip- prinsip umum itu sama sekali tidak di dapatkan, seperti kasus yang terjadi pada kaum Nabi Ibrahim, guru dapat mengambil inisiatif dan menunjukkan bagaimana caranya untuk dapat menemukan kesimpulan.[2]
Dalam surat An- Nahl ayat 125 dijelaskan :
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ringkasnya ayat tersebut menyuruh agar Rasulullah menempuh cara berdakwah dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk (al-Hidayah) dan kesesatan (al-dlalal) serta hal-hal yeng terjadi di antara keduanya sepenuhnya dikembalikan kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang lebih mengetahui keadaan orang-orang yang tidak dapat terpelihara dirinya dari kesesatan, dan mengembalikan dirinya kepada petunjuk.[3]

B.  Metode Tanya Jawab dalam Al- Qur’an
Dalam surat An- Nahl ayat 125 di atas juga menerangkan tentang perintah agar Rasulullah menyeru dan mengajak umat manusia itu kepada agama Allah dengan cara kebijaksanaan dan pengajaran yang baik. Bersoal-jawablah dengan mereka itu dengan jalan yang sebaik-baiknya, yaitu dengan lunak lembut dan keterangan yang cukup, sehingga memuaskan hati mereka dan menghilangkan segala keraguannya. Allah lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan agama-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.[4]
Mempertanyakan hal- hal merupakan metoda lain di dalam Al- Qur’an. Pertanyan- pertanyaan yang diajukan mungkin dalam rangka pengajuan kembali kepada statemen atau mungkin diajukan sebagai titik permulaan. Dalam surat Al- Baqarah (2) : 30 pertanyaan malaikat, “Apakah Engkau hendak menciptakan makhluk yang akan membuat kerusakan di muka bumi?” pertanyaan ini merupakan respon malaikat atas pemberitahuan Allah tentang akan diciptakan khalifah di muka bumi. Maka hadirlah pertanyaan kepada Iblis setelah menolak beresujud menghormati Adam sebagai khalifah. Pertanyaan yang di maksudkan termaktub dalam Al- Baqarah (2) : 260, “Apakah engkau tidak percaya?” pertanyaan ini dialamatkan kepada Ibrahim setelah menanyakan bagaimana Allah menghidupkan makhluk- makhluk yang sudah mati. Dalam Tha-ha (21) : 52, Ibrahim bertanya kepada ayahnya dan kaumnya: Apakah manfaat berhala- berhala yang selalu di sembah itu?” Dialog dalam tanya jawab ini juga terjadi antara Allah dan malaikat, Allah dan manusia, serta antara manusia dengan manusia. Dengan melihat hal ini, maka acuan tanya dan jawab membentuk suatu unit (kesatuan) yang sempurna dalam penyelesaian masalah- masalah. Apa yang kemudian menjadi jawaban setelah adanya pertanyaan, bukan merupakan persoalan pokok bagi pemahamannya akan pertanyaan, sungguhpun mungkin saling berhubungan.
            Tipe pertanyaan surat Tha- ha (21) : 52 berbeda dengan pertanyaan yang diajukan pada ketiga pertanyaan pada ayat pertama. Dalam surat Tha- ha, pertanyaan dilontarkan sebagai langkah yang dimaksudkan untuk menjawab peran dialogis. Pertanyaan dilontarkan kemudian jawaban diberikan dan hal ini secara final mengacu kepada penemuan kebenaran. Ayat- ayat Al- Qur’an berikut ini mengungkap hubungan- hubungan Nabi Ibrahim dengan kaumnya, adalah contoh yang baik sekali dalam peristiwa dialogis yang dimaksudkan sebagai metoda mencari kebenaran. [5]
            Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada Ayahnya dan kepada kaumnya: “Apakah manfaat berhala- berhala yang engkau sembah?”. Mereka menjawab: “Kami dapati bapak- bapak kami menyembah mereka”.
Ibrahim berkata             : “Sesungguhnya kamu dan bapak- bapak kamu dalam kesesatan yang nyata”.
Mereka berkata             : “Apakah kedatanganmu kepada kami sungguh- sungguh membawa kebenaran?”
Ibrahim menjawab   : “Bahkan Tuhan kamu yang sebenarnya adalah Tuhan bagi langit dan bumi”.
Dan demi Allah aku hendak melakukan tipu daya kepada berhala- berhala kamu setelah kamu berpaling. Lalu ia jadikan berhala- berhala itu berkeping- keping.
Mereka bertanya         : “Siapakah yang membuat kerusakan terhadap Tuhan kami?”
Mereka berkata           : “Kami dengar seorang pemuda (Ibrahim) yang mencela tuhan- tuhan kami”.
Mereka berkata           : “Maka bantahlah ia di hadapan orang banyak, supaya mereka saksikan”.
(Q.S. Tha- ha (21) : 52- 67).
            Dalam dialog tersebut, pertanyaan pertama yang muncul dalam ayat 52 bertujuan agar dapat mengungkapkan atau mendefinisikan keimanan mereka, kaum Nabi Ibrahim. Kemudian langkah pertama ini membuat mereka sadar akan situasi yang ada. Agar mereka dapat menemukan kepercayaan mereka yang tidak benar itu maka perlu mereka memberi jawaban atas pertanyaan mereka berkenaan dengan orang yang merusak berhal- berhala yang mereka sembah. Malahan mereka mempertanyakan terus, dan menunjukkan pertanyaan mereka ke hadapan berhala- berhala yang paling besar. Tujuan langkah ini adalah membuat mereka bingung. Kemudian tujuan yang hendak dicapai pada saat mereka mengakui, bahwa berhala yang paling besar itupun tidak bisa menjawab pertanyaan- pertanyaan yang mereka ajukan. Maka langkah final berikutnya bertujuan untuk membuat mereka sadar, agar mereka mau merubah penyembahan berhala- berhala menjadi menyembah Allah. Maka disini nyata, bahwa kebenaran itu terjawab setelah menjawab adanya pertanyaan dalam Q.S. Tha- ha (21) : 66:
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكُمْ شَيْئاً وَلَا يَضُرُّكُمْ
Ia berkata: “Maka apakah (patut) kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak bisa sedikitpun memberi manfaat  dan tidak bisa memberi mudharat kepada kamu?"
            Keseluruhan dialog dan tanya jawab dalam ayat- ayat Al- Qur’an, dari pertanyaan terdahulu hingga pertanyaan terakhir, adalah dilengkapi dengan tujuan yang sangat mirip yang diekspresikan dalam langkah terakhir dalam pertanyaan. Inilah seharusnya yang merupakan urutan di dalam diskusi berlangsung.[6]
            Pemberian banyak pertanyaan- pertanyaan yang diberikan secara berurutan itu dengan tujuan membantu manusia menemukan kebenaran, dan ini juga berdasarkan Hadits Nabi SAW. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa ada seorang laki- laki datang kepada Nabi SAW untuk mendapatkan bukti, karena dia mempunyai anak yang berkulit hitam atas perkawinannya, padahal ibunya juga tidak berkulit hitam. Maka jawaban Nabi SAW sebagaimana dialogi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Nabi SAW      : Apakah engkau memiliki unta?
Si Fulan           : ya, betul.
Nabi SAW      : apa warna unta itu?
Si Fulan           : merah.
Nabi SAW      : apakah ada salah satu unta itu yang warnanya abu- abu?
Si Fulan           : ya, ada.
Nabi SAW      : dari mana unta abu- abu itu berasal?
Si Fulan           : mungkin karena keturunan (heriditas).
Nabi SAW      : barangkali juga anakmu yang terakhir itu memiliki warna hitam karena keturunan.
Pertanyaan- pertanyaan dari Nabi Muhammad SAW yang berurutan di atas dimaksudkan untuk menghilangkan keragu- raguan yang dimiliki oleh laki- laki (ayah) yang diceritakan dalam Hadits Nabi SAW di atas.
            Pengujian pertanyaan- pertanyaan yang di ungkapkan oleh Ibrahim atau Nabi Muhammad SAW dalam dua contoh itu, memperlihatkan bahwa pada pokoknya bukan mengacu kepada tujuan memperoleh informasi, bahkan lebih dari itu untuk menolak pemikiran yang menuntut kepada pemahaman akan persoalan yang sedang menjadi pertimbangan pemikiran untuk meyakinkan. Pertanyaan- pertanyaan yang diberikan itu pada dasarnya tidak bersifat spekulatif, bahkan lebih berkaitan dengan obyek- obyek yang akrab dengan orang yang dimintai jawabannya, dan tidak keluar dari pengalaman atau dari kemampuan mental orang- orang yang menjawab pertanyaan. Di sinilah, maka pertanyaan- pertanyaan dapat di anggap sebagai mempunyai tujuan, memberi kemudahan dan reflektif.[7]


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan surat An- Nahl ayat 125 dapat disimpulkan bahwa Allah menyuruh agar Rasulullah menempuh cara berdakwah dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk (al-Hidayah) dan kesesatan (al-dlalal) serta hal-hal yeng terjadi di antara keduanya sepenuhnya dikembalikan kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang lebih mengetahui keadaan orang-orang yang tidak dapat terpelihara dirinya dari kesesatan, dan mengembalikan dirinya kepada petunjuk.
Selain itu, Allah juga menyuruh agar Rasulullah menyeru dan mengajak umat manusia itu kepada agama Allah dengan cara kebijaksanaan dan pengajaran yang baik. Bersoal-jawablah dengan mereka itu dengan jalan yang sebaik-baiknya, yaitu dengan lunak lembut dan keterangan yang cukup, sehingga memuaskan hati mereka dan menghilangkan segala keraguannya. Allah lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan agama-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.

B.  Saran
Demikianlah hasil makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang  lebih baik.










                                                        DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Saleh Abdullah. Teori- teori Pendidikan Berdasarkan Al- Qur’an.  Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1994.
Abudin Nata. Tafsir ayat- ayat pendidikan.
Mahmud Yunus. Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia).



[1] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori- teori Pendidikan Berdasarkan Al- Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm. 216
[2] Ibid., hlm. 217 - 218
[3] Abudin Nata, Tafsir ayat- ayat pendidikan, hlm. 172
[4] Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Bahasa Indonesia), h. 399
[5] Abdurrahman Saleh Abdullah, Op. Cit., hlm. 212 - 213
[6] Ibid., hlm. 214 - 215
[7] Ibid., hlm. 215 - 216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar