TEOLOGI ISLAM
KONTEMPORER
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadis
Dosen Pengampu: Drs. H. Abdul Wahab Syakur M.Pd.I

Disusun Oleh :
1.
Rani Qoimatus Salafiyah : 1310210009
2.
Saidatun Ni’mah : 1310210022

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu
kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut
Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut
peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah
atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Ilmu kalam
atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak
tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang
berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau
teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan
tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari
berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian teologi Islam kontemporer?
2.
Siapa tokoh teologi Islam
kontemporer dan bagaimana pmikirannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teologi Islam Kontemporer
Dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa kata aliran/ teologi berarti haluan, pendapat, paham. Sedangkan kontemporer adalah pada waktu
yang sama, semasa, sewaktu, masa kini, dewasa ini.[1] Sedangkan
pengertian teologi islam secara terminologi menurut Muhammad Abduh :
التوحيد علم يبحث عن
وجود الله وما يجب ان يثبت له من صفاته وما يجوز ان يوصف به وما يجب ان ينفى عنه
وعن الرسل لاثبات رسالتهم ان يكونوا عليهم ومما يجوز ان ينسب اليهم وما يمتنع ان
يلحق بهم.
“ tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang
wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat
yang sma sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang
Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri
mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang
menghubungkanya kepada diri mereka”.[2]
B. Tokoh Teologi Islam Kontemporer dan Pemikirannya
1. Nurcholis madjid
Riwayat
Singkat Nurcholis Madjid:
Prof. DR Nurcholis Madjid yang populer dipanggil cak Nur lahir di
Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005
pada umur 66 tahun adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan dan budayawan
Indonesia. Ayahnya, KH. Abdul Madjid dikenal dengan pendukung Masyumi. Setelah
melalui pendidikian di berbagai pesantren termasuk pesantren Gontor Ponorogo
beliau menempuh studi kesarjanaan di IAIN Jakarta (1961 sampai 1968), tokoh HMI
ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Cikago Amerika Serikat
(1978-1984) dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
Beliau berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis
kepemimpinan pada tahun 1998. beliaulah yang sering diminta nasihat
oleh presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan
Mei 1998 di Jakarta setelah indonesia dilanda krisis yang hebat. Atas saran beliau,
akhirnya presiden Soeharto Mengundurkan diri dari jabatannya untuk
menghindari gejolak yang lebih parah.
Pemikiran
Nurcholis Madjid:
a. Teologi
Pluralisme
Pluralisme Nurcholis Madjid berdiri tegak atas pundamen ajaran dan nilai
etis Al-Qur’an seutuhnya. Teologi ini berangkat dari kesadaran kemajemukan atau
pluralitas umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak
Tuhan. Tegasnya bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, agar mereka saling mengenal dan menghargai. Bahwa perbedaan
antara manusia dalam bahasa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti
diterima sebagai kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran
Allah.
Pemahaman yang didasarkan atas kesadaran kemajemukan secara sosial,
religi yang tidak mungkin ditolak, ini
lah yang oleh Nurcholis Madjid disebut pluralisme. Yaitu sistem inilah yang
memandang secara positif optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untuk
melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa
kebaikan dan kemaslahatan.
b. Kalam
Masa Depan
Ada beberapa hal yang secara
tentatif meskipun dengan cara yang agak arbiter, kurang sistematis dapat
digunakan sebagai titik tolak tingkat awal bagi pengembangan metode ilmu kalam.
1) Untuk
menjaga autentisitas
2) Untuk
memperoleh relevansi dan kreatifitas yang optimal
3) Secara
tersendiri amat diperlukan memahami dengan tepat dan esensial arti zaman modern
dan modernitas
4) Salah
satu hasil yang dituju ialah ditemukannya hubungan organik yang mantap antar
iptek dan sistem keimanan Islam.
5) Di
satu segi iptek modern memberi umat manusia kemugkinan besar memperoleh
peningkatan hidup meterial yang luar biasa.
6) Zaman
modern tidak akan merubah fitrah manusia yang memerlukan bimbingan Ilahi bagi
kelangsungan hidupnya.
c. Monosentrisme dan Polisentrisme
Monosentrisme adalah paham serba
satu dalam pusat kegiatan. Sedangkan Polisetrisme mengenal adanya banyak pusat.
Tetapi kedua istilah itu tidak sejajar dengan pengertian “kesatuan” dan
“federal” dalam system kenegaraan. Sebab dalam Negara kesatuan pun Polisetrisme
tetap dimungkinkan. Polisetrisme menyangkut kehidupan masyarakat, khususnya
masyarakat politik. Bagi kita, Polisentrisme
adalah berdasarkan makna filsafat Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda tapi
bersatu, atau persatuan dalam perbedaan.[3]
2. Harun Nasution
Riwayat
Singkat Harun Nasution:
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919
di Sumatera. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah
tujuh tahun di HIS, beliau meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool)
di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas
Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas
amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun
1962.
Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang
akademisi, yakni menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian
juga pada Universitas Nasional. Harun Nasution adalah figur sentral dalam
semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak
paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu
tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan
formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.
Pemikiran Harun Nasution:
a. Peranan
Akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal
dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di
Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system
teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman
seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution
menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia
mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya.
Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk
mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah
lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan
tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam
sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah
tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri
maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama
rasional.
b. Pembaharuan
Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya
dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat
Islam Indonesia(juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah”
dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain
pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan
lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati.
Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic,
irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka
menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah
nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi
yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika
teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik
sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c. Hubungan
akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan
keagamaan. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.
Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan
dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah
pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi pendapat akal ulama tertentu
dengan pendapat akal ulama lain.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian teologi islam secara menurut Muhammad Abduh :
التوحيد علم يبحث عن
وجود الله وما يجب ان يثبت له من صفاته وما يجوز ان يوصف به وما يجب ان ينفى عنه
وعن الرسل لاثبات رسالتهم ان يكونوا عليهم ومما يجوز ان ينسب اليهم وما يمتنع ان
يلحق بهم.
“ tauhid adalah ilmu
yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya,
sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib
di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan
keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di
hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri
mereka”.
Tokoh teologi islam kontemporer dan pemikirannya:
1.
Pemikiran Nurcholis Madjid:
a.
Teologi pluralisme
b.
Kalam masa depan
c.
Monosentrisme
dan Polisentrisme
2.
Pemikiran Harun Nasution:
a.
Peranan Akal
b.
Pembaharuan teologi
c.
Hubungan akal dan wahyu
B. Saran
Demikianlah hasil makalah kami, semoga
dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
1979.
Abdullah, Amin. Filsafah
Kalam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Nurcholis Madjid, Islam Kerakyatan dan keindonesiaan.
Bandung: Mizan. 1994.
Harun Nasution. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar