Mengenal Tokoh dan Kitab Hadis
(Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadis
Dosen Pengampu: M. Dhofir,
M.Ag

Disusun Oleh :
1. Rani Qoimatus Salafiyah :
1310210009
2. Saidatun Ni’mah :
1310210022
![]() |
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Kitab-kitab Hadis dalam bentuk subjek-subjek khusus atau
minat tertentu telah muncul sejak abad pertama Hijrah. pengklasifikasian yang
muncul berbeda-beda, baik secara kuantitas dan kualitasnya, sesuai dengan
kapasitas masing-masing penyusunannya. Bahkan banyak pula karya-karya yang
muncul pada paruh pertama abad kedua Hijrah.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempat Hijrah perubahan terjadi
dengan munculnya kitab-kitab Hadits yang hanya memuat Hadits Nabi dengan
pengaturan sistematika tertentu. Pada periode inilah munculnya kitab-kitab
Hadis yang diantaranya dalah kitab hadis karangan Imam Al- Bukhari dan Imam
Muslim.
Pembahasan berikut secara khusus akan menguraikan
tentang kitab Sahih susunan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dinilai
menduduki peringkat teratas dari sederetan kitab-kitab Hadis. Pembahasan ini
diawali dengan pengungkapan riwayat hidup Imam al-Bukhari dan Imam Muslim,
kitab shahih Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, criteria hadis shahih yang
ditetapkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, serta keutamaan kitab Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al- Bukhari, Kitab
Shahihnya, Kriteria hadis shahih yang ditetapkannya, dan keutamaan kitab Shahih
Al- Bukhari?
2. Bagaimana
riwayat hidup Imam Muslim, Kitab Shahihnya, Kriteria hadis shahih yang
ditetapkannya, dan keutamaan kitab Shahih Muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Imam Al-Bukhari
Nama lengkap Imam Al- Bukhari ialah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al- Ju’fi Al-Bukhari. Imam
Al- Bukhari dilahirkan pada hari Jum’at malam tanggal 13 Syawal 194 H dalam
sebuah keluarga yang diberkahi, yang berhias ilmu dan taqwa. Ayahnya bernama
Ismail.
Imam
Al- Bukhari telah menuntut ilmu kepada ahli-ahli hadits yang populer pada masa
itu di berbagai negara, yaitu Hijaz, Syam, Mesir, dan Irak. Dia meninggal dunia
pada malam selasa tahun 255 H dalam usia 62 tahun kurang 13 hari, dengan tidak
meninggalkan seorang anak pun.[1]
1. Kitab Shahihnya

Diakui oleh Al- Bukhari bahwa ide atau alasannya
menyusun kitab shahih, antara lain berasal dari saran gurunya sendiri Ishaq bin
Rahawaih. Kemudian mimpinya bertemu Nabi yang takwilnya mengisyaratkan agar ia
membersihkan hadis Nabi dari kepalsuan. (Silsilah al- Buhuts al- Islamiyah,
1969:58-59).[2]
Kitab
Shahih Al- Bukhari telah memperoleh penghargaan tinggi dari para ulama’.
Terhadap kitab ini, mereka telah memberikan pernyataan, bahwa Shahih Al-
Bukhari adalah satu-satunya kitab yang paling shahih setelah Al- Qur’an.
Judul
lengkap kitab ini ialah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari
sendiri, yaitu “Al- Jami’u Al- Shahihu Al- Musnadu Al- Mukhtasharu min
Hadiitsi Rasuulillah wa Sunanihi wa Ayyaamini”.
Kitab
ini merupakan himpunan hadits-hadits shahih, yang sekaligus menjadi objek
pembahasannya. Hal itu dapat diketahui secara jelas dari kriteria dan syarat-
syarat yang digunakan oleh Al- Bukhari dalam mengidentifikasi hadits- hadits yang
diukatakannya sebagai hadits shahih. Dan hanya hadits- hadits yang memenuhi
kriteria dan syarat- syarat yang ditetapkan itulah yang dimasukkan ke dalam
kitabnya ini. Oleh karena itu di dalam kitab ini hanya terdapat hadits-hadits
yang shahih.
Abu
Abdillah Al- Humaidi di dalam kitabnya, Al- Jam’u baina Shahihaini,
mengatakan, “Bahwa aku tidak menemukan dari imam- imam zaman klasik seorang
yang lebih fashih menghafalkan himpunan hadsits-hadits shahih kecuali dua imam
ini (Bukhari dan Muslim)”.
Komentar
tersebut adalah dimaksudkan bahwa semua pokok bahasan dan tujuan pembahasan
serta matan- matan dari bab- bab yang ada di dalam kitab ini, jika ditinjau
dari segi syarat shahih berupa muttashil, adalah bukan sebagai fragmentasi
biografi dan lain sebagainya. Akan tetapi, yang dimaksud pembahasan Al- Jami’
itu hadits- hadits shahih, sebab di sana ternyata terdapat juga hadits- hadits
muallaq dan hadits- hadits mauquf. Namun, oleh karena keberadaan kedua macam
hadits itu dimaksudkan sebagai pelengkap dan penguat keshahihannya, maka
konseptual kedua macam hadits itu tidak bisa menggeser dari pokok
pembahasannya.[3]
2. Kriteria dan Syarat- syarat Hadits Shahih yang
Ditetapkan Al- Bukhari
Di antara penjelasan mengenai makna kriteria dan
syarat hadits shahih yang ditetapkan oleh Al- Bukhari yang paling baik dan
rinci ialah yang diuraikan oleh Ibnu Hajar di dalam pendahuluan kitabnya Al-
Nukat dan kitabnya Muhtashar Fathu Al- Bari. Dia menyimpulkan, bahwa
mengenai kriteria dan syarat- syarat hadiys shshih yang ditetapkan oleh A-
Bukhari dapat diketahui dari dua hal, yaitu:
Pertama : Dari judul yang diberikan oleh Al-
Bukhari sendiri terhadap kitab tersebut
Al-
Bukhari memberi judul kitabnya Al-
Jami’u Al- Shahihu Al- Musnadu Al- Mukhtasharu min Hadiitsi Rasuulillah wa
Sunanihi wa Ayyaamini. Dari kata “Jami’” (yang berarti menghimpun) dapat
tergambar bahwa di dalam kitabnya itu dia tidak hanya mengkhususkan satu macam
pembahasan, melainkan meliputi pembahasan mengenai hukum, keutamaan amal,
berita- berita yang murni, urusan- urusan yang lampau dan akan datang, masalah
etika, memerdekakan budak, dan lain sebagainya.
Sedang
dari kata “Shahih” menunjuk pada pengertian, bahwa di dalam kitab itu tidak ada
sesuatu hadits yang dhaif menurutnya, sebagaimana yang diucapkannya sendiri,
“aku tidak memasukkan dalam Al-Jami’ kecuali yang shahih”.
Adapun
dari kata “Al- Musnadu” menunjukkan bahwa kitab itu mengekspose hadits- hadits
yang muttashil sanadnya, yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat dari Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrir. Dan jika di dalam kitab itu
terdapat hadits yang tidak shahih, maka secara konsepsual hal itu hanya di
maksudkan sebagai pelengkap dan penguat saja, bukan sebagai tujuan pokok dari
pembahasannya. Demikian menurut pendapat yang paling kuat dan benar.
Kedua : Dari hasil
penelitian yang dilakukan orang terhadap kitab tersebut
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
hasil penelitian di atas, dan siapa yang melakukannya, maka di sini terlebih
dahulu perlu memformulasikan criteria dan syarat- syarat yang ditetapkan Al-
Bukhari dalam kitabya itu dan oleh imam- imam yang lain. Yaitu, sanadnya harus
muttashil, rawi- rawinya adil dan dhabit. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi
secara keseluruhan, maka harus disertakan faktor pelengkap dan penguat,
sehingga hadits itu terhindar dari illat yang
berakibat kedhaifan dan syadnya, yakni berbeda dengan riwayat rawi- rawi yang
lebih banyak dan lebih dhabit, dimana perbedaan yang terjadi antara keduanya
tidak memungkinkan untuk dikompromikan dan disatukan. Kemudian menurut Al-
Bukhari dan para ahli hadits, bahwa arti muttashil adalah di syaratkan rawi-
rawi itu pernah bertemu dalam satu masa.
Oleh
karena rawi- rawi dalam kitab Shahih Al-
Bukhari secara keseluruhan terdapat indikasi- indikasi tersebut di atas,
para imam sejak dahulu sampai sekarang bersesuaian pendapat menyebut kitab Shahih Al- Bukhari sebagai kitab yang
paling shahih, sesudah Al- Qur’an.[4]
3.Keutamaan Shahih Al-
Bukhari
Kesepakatan para ulama’ mengenai
Shahih Al- Bukhari lebih utama dari Shahih Muslim itu dapat diketahui melalui
riwayat Imam Al- Nawawi dan gurunya, Ibnu Al- Shalah, dan lain- lain.
Kitab
Shahih Al- Bukhari adalah paling shahih, banyak mengandung faedah dan
pengetahuan di antara kedua kitab shahih tersebut. Adalah shahih riwayatnya
yang menyebutkan, bahwa imam muslim mengambil faedah dari shahih Al- Bukhari.
Imam Muslim sendiri telah mengakui, Al- Bukhari sebagai orang yang tidak ada
bandingannya dalam bidang ilmu hadis. Pendapat Al- Nawawi itu juga dikuatkan
oleh pernyataan Imam Muslim sendiri tehadap Al- Bukhari, “tidak ada orang yang
marah kepadamu (Al- Bukhari) kecuali orang yang dengki, dan aku bersaksi bahwa
di dunia ini tidak ada orang yang sepertimu.”[5]
B.
Imam
Muslim
Nama lengkapnya ialah Abu Al-
Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al- Qusyairi Al- Naisaburi. Dia adalah
salah seorang diantara panji- panji ahli hadis yang berkedudukan sebagai imam,
hafidz, dan kuat posisinya.
Menurut Al- Hafidz ibnu Al- Ba’I di dalam
kitabnya ‘Ulamau Al- Anshari’, bahwa
imam muslim di lahirkan di Naisabur pada tahun 206 H dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga berpendidikan yang haus akan ilmu hadits.
Dia telah menyusun kitab shahihnya yang
populer, dan karya- karyanya yang lain. Masahidupnya di curahkan sepenuhnya
untuk mencari ilmu, mengajar, menemui guru- guru, dan menyusun kitab
sampai meninggal dunianya pada tahun 261 H di Naisabur dalam usia 55 tahun.[6]
1.
Kitab
Shahinya

Shahih
Muslim merupakan kitabnya yang popular di seluruh dunia dan namanya
terkenal di mana- mana. Dalam menyusun kitabnya itu,dia menghabiskan waktu 15
tahun. Dan di dalam kitabnya itu dia menghimpun sebanyak 12.000 hadits yang
diseleksinya dari 300.000 hadits.
2.
Kriteria Hadits Shahih yang Ditetapkan Imam Muslim
Syarat-syarat kesahihan hadis menurut Imam Muslim tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang
dikemukakan oleh Imam al-Bukhari, yaitu sanad bersambung, seluruh periwayat
dalam sanad suatu hadis harus adil dan dhabith (Tsiqah) serta
hadis tersebut terhindar dari syadz dan illat.
Syarat kesahihan hadis menurut Imam Muslim yang berbeda
dengan Imam Bukhari terletak pada kemuttashilan sanad (ketersambungan sanad).
Imam Bukhari belum menilai suatu hadis sebagai hadis sahih, jika periwayatnya
tidak pernah bertemu dengan periwayat terdekat sebelumnya. Pertemuan antara
periwayat merupakan syarat mutlak yang bisa dipercaya dalam kemuttashilan
sanad. Hidup semasa saja tidak cukup untuk membuktikan kebenaran bahwa
periwayat yang semasa dengan periwayat sebelumnya benar-benar telah menerima
riwayat dari periwayat di atasnya. Sedangkan Imam Muslim mencukupkan semasa
saja, tidak perlu pertemuan. Semasa telah dapat memberi keyakinan bahwa seorang
periwayat dapat dipercaya telah menerima suatu hadis dari periwayat sebelumnya.
Dalam hal ini, sanadnya telah dapat dikatakan bersambung (Muttashil).[7]
3.
Keutamaan
Kitab Shahih Muslim
Imam Al- Nawawi telah membuat satu
pasal tersendiri mengenai keistimewaan- keistimewaan kitab Shahih Muslim. Dia
berkata, “Di antara keistimewaan karya Imam Muslim ialah:
·
Dia membedakan secara tegas dan jelas antara
penggunaan ungkapan “akhbaranaa” dengan ungkapan “haddatsanaa”. Kata
“haddatsanaa” tidak boleh digunakan kecuali jika seorang rawi dalam kondisi
berperan pasif. Artinya, rawi itu hanya mendengar dari gurunya, tidak membaca
di depan nya secara seksama. Sedangkan kata “akhbaranaa” digunakan dalam
kondisi rawi berperan aktif. Artinya, rawi itu membaca di depan gurunya dengan
di dengarkan oleh gurunya itu secara seksama.
·
Ketelitiannya dalam memperhatikan lafadz
hadits yang disampaikan oleh rawi- rawi.
·
Sikap konsekuen dan disiplinnya dalam hal
periwayatan.
·
Sistematika penulisannya yang kronologis, di
mana jalinan hadits- haditsnya memberikan kesan pembacanya untuk lebih
mendalami pembahasan.[8]
C.
Hadits
Shahih.
Shahih menurut
bahasa,seperti yang dikatakan oleh Mahmud Yunusberasal dari kata:
صَحَّ - يَصِحُّ - صَحًّا - صِحَّةً– صَحًاحًا
Yang artinya: “Sehat, tidak sakit, sembuh, benar,
selamat”.[9]
Sedangkan Shahih secara
istilah sebagaimana yang dikemukakan olehMahmud Thahan adalah hadits yang
bersambung sanadnya dengan nukilan dari orang yang adil dan tepat dari
semisalnya semula sampai pada yang terakhir, dengan tidak ada syadz dan ‘illat.[10]
Contoh Hadits Shahih:[11]
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْن يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ
عَبْدِاللهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م قَالَ: اِذَا كَاَنُوْا ثَلَاثَةً فَلًا
يَتَنَاجَى اِثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ.
Artinya: (Kata Bukhari):
Telah menceritakan kepada kami,Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah
mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari
antaranya) berbisik-bisik dengan tidak bersama yang ketiganya”.
v
Pembagian
Hadits Shahih.
Hadits Shahih itu ada dua
rupa:[12]
§ Shahih liDzatihi, artinya yang sah karena dzatnya, yakni
yang shahih tidak dengan bantuan keterangan lain. Sedangkan menurut istilah
adalah “satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan
oleh orang-orang yang adil, dla-bith yang sempurna, serta tidak ada syu-dzudz
dan tidak ada ‘illah yang tercela”.
Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْن يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ
عَبْدِاللهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م قَالَ: اِذَا كَاَنُوْا ثَلَاثَةً فَلًا
يَتَنَاجَى اِثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ.
§ Shahih liGhairihi, artinya yang shahih karena
yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad) atau
keterangan lain. Shahih li ghairihi menurut ketetapan ahli Hadits ada
macam-macam rupa, yaitu:
1. Hadits Hasan li dzatihi, dikuatkan dengan jalan
lain yang sama derajatnya.
Contoh:
حَدَّثَنَا عمرو بْن عَلي قَالَ: حَدَّثَنَا اَبُوْ
قُتَيبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدالرَّحْمَن ابْن عَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنْ
اَبِيْهِ قَالَ : سَمِعْتُ اِبْنُ عمر يَتَمَثَّلْ بِشِعْر اَبِيْ طَالِبٍ.....
(البخاري)
1.
Hadits
Hasan li dzatihi, dibantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat
rendah.
Contoh:
حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْن بَشَّار
حَدَثَّنَا عَبْد الرَّحْمَن حَدَثَّنَا سُفْيَان عَنْ عَبْدِالله ابْنِ مُحَمَّد
بْنِ عَقِيْل عَنْ مُحَمَّد بْنِ
الْحَنَفِيَّة عَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ: مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ
الطّهُوْرُ وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا
التَّسْلِيْمُ.(الترمذي)
2.
Hadits
Hasan li dzatihi, atau hadits lemah yang isinya setuju dengan salah satu ayat
Al-Qur’an atau yang cocok dengan salah satu dari pokok-pokok agama.
Contoh:
تَنَظّفُوْا فَاِنَّ الْاِسْلَامَ
نَظِيْفٌ.(ابن حبان)
3.
Hadits
yang tidak begitu kuat, tetapi diterima baik oleh ulama’-ulama’.
Contoh:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُه وَالْحِلُّ
مَيْتَتُهُ.
Dari beberapa definisi tentang hadis shahih
sebagaimana tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis shahih
adalah:
a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Yang dimaksud dengan
sanadnya bersambung ialah bahwa tiap-tiap perawinya dalam sanad hadis menerima
riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya.Keadaan itu berlangsung demikian
sampai akhir sanad dari hadis itu.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rangkaian para perawi sahih sejak para perawi terakhir sampai kepada perawi
pertama (para sahabat) yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung
dalam periwayatan. Dari pengertian seperti ini, maka hadis mursal, munqathi’,
mu,dhal, dan mu’allaq, tidak tergolong hadis shahih.
b. Perawinya Adil
Kata ‘adil menurut
bahasa biasa berarti lurus, tidak berat sebelah tidak zalim, tidak menyimpang,
tulus, jujur.Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang
emndorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak
baik dalam segala tingkah lakunya. Dengan demikian, maka yang dimaksudkan
dengan perawi dalam periwayatan sanad hadis adalah bahwa semua perawinya, di
samping harus Islam dan baligh, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Senantiasa melaksanakan segala perintah agama
dan meninggalkan semua larangannya;
b) Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa
kecil; dan
c) Senantiasa memelihara ucapan dn perbuatan yang
dapat menodai muru’ah, yakni suatu sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan
sia-sia ataupun perbuatan dosa.
Sifat-sifat adil
para perawinya sebagaimana dimaksud dapat diketahui melalui:
a) Popularitas keutamaan perawi dikalangan ulama
ahli hadis, perawinya terkenal dengan keutamaan pribadinya.
b) Penilaian dari para kritikus perawi hadis
tentang kelebihan dan kekurangan pada diri perawi yang dimaksud.
c) Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila
tidak ada kesepakatan diantara perawi hadis mengenai kualitas pribadi para
perawi tertentu.
Khusus mengenai
perawi hadis pada tingkat sahabat, menurut jumhur ulama ahli sunnah, dikatakan
bahwa seluruh sahabat dikatakan adil. Sedangkan golongan mu’tazilah menganggap
bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali bin Abi Thalib
dianggap fasiq, yang periwayatannya ditolak.
c. Perawinya Dhabit
Kata “dhabith”
menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan
sempurna.Seseorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai
daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar
Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terdap apa
yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan
saja manakal diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus
mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami isi apa yang
didengar, terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikannya kepada
orang lain meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
Yang dicakup oleh
pengertian dhabit dalam periwayatannya di sini ada dua kategori, yaitu dhabit
fi al-shadr dan dhabit fi al-kitab. Yang dimaksud dengan dhabit fi al-shadr,
ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadits sampai
meriwayatkannya kepada orang lain; sedangkan dhabit fi al-kitab, ialah
terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Adapun sifat-sifat
kedhabitan perawi, menurut para ulama, dapat diketahui melalui:
a) Kesaksian para ulama;
b) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan
riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhabitannya.
Kedhabitan seorang
perawi, tidak berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan.
Mungkin saja kekeliruan atau kesalahan itu sesekali terjadi pada seorang
perawi.Yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat
ingatannya.
d. Tidak Syadz (Janggal)
Yang dimaksud dengan
syadz atau syudzuz (jama’ dari syadz) di sini adalah hadis yang bertentangan
dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Ini pengertian yang
dipegang oleh Al-Syafi’I dan diikuti oleh kebanyakan para ulama’ lainnya.
Melihat kepada
pengertian syadz diatas, dapat dipahami, bahwa hadis yang tidak syadz (ghair
syadz), adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang
lebih kuat atau lebih tsiqqah.
Al-Hakim
Al-Naisaburi memasukkan fard (hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
tsiqqah, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya), ke dalam kelompok
hadis syadz. Pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli hadis.
e. Tidak ber-illat (Ghair Mu’allal)
Kata ‘illat yang
bentuk jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit,
keburukan, dan kesalahan baca.Dengan pengertian ini, maka yang disebut hadis
berillat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Menurut istilah,
‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, karena jika
dilihat dari segi zahirnya, hadis tersebut terlihat shahih.Adanya kesamaran
pada hadis tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak
shahih.Dengan demikian maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah
hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
‘Illat hadis, dapat
erjadi baik dari sanad maupun pada matan atau keduanya secara
bersama-sama.Namun demikian, illat yang paling banyak, terjadi pada sanad,
seperti menyebutkan muttashil terhadap hadis yang munqathi’ atau mursal
(terputus sanadnya).
Para ahli hadits menguraikan
tingkatan-tingkatan hadits shahih, pada umumnya, secara berurutan sebagai
berikut:
1.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
2.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri (tanpa Muslim).
3.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri (tanpa Bukhari).
4.
Hadits
yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan
Muslim, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij oleh keduanya.
5.
Hadits
yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari, meskipun
hadits tersebut tidak ditakhrij olehnya.
6.
Hadits
yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslim, meskipun hadits tersebut tidak
ditakhrij olehnya.
7.
Hadits-hadits
yang disahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu Khuzaemah, Ibnu
Hibban meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari dan
Muslim.
v
Kehujjahan
Hadis Sahih
Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama
ahli ushul sera ahli fiqh sepakat menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang
wajib beramal dengannya.Kesepakatan ini terjadi pada soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang
berhubungan dengan akidah (keyakinan).
Sebagian besar ulama menetapkan dengan
dalil-dalil qath’i, yaitu al-Qur’an dan hadis mutawatir untuk menetapkanhal-hal
yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadis ahad.Sebagian ulama lainnya
dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis shahih memfaedahkan Ilmu Qath’I
dan wajib diyakini.Dengan demikian hadis shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
suatu aqidah.
Perlu diketahui bahwa martabat hadis sahih
ini tergantung pada kedhabitan dan keadilan para perawinya.Semakin dhabit dan
adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang
diriwayatkannya.
Berdasarkan martabat seperti ini, para
muhadditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga, yaitu: 1. Ashah al-asanid,
yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Para ulama hadis berbeda
pendapat dalam menentukan peringkat pertama ini:
Al-Suyuthi menguraikannya sebagai berikut:
a. Menurut
Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq ibn Rahuwaih, adalah jalur sanad Ibn Syihab Al-Zuhry
dari Slim ibn Abdullah ibn Umar dari Ibn Umar.
b. Menurut
Ibn Al-Madiny, Al-Fallas ‘dan Sulaiman ibn Harb, adalah Muhammad ibn Sirin –
‘Abidah Al-Salmany – Ali bin Abi Thalib
c. Menurut
Yahya ibn Ma’in adalah Sulaiman Al-A’masy ibn Ibrahim – Ibrahim bin Yazid
Al-Nakha’iy – Al-Qamah ibn Qais –Abdullah Ibn Mas’ud
d. Menurut
Abu Bakr ibn Abi Syaibah, adalah Al-Zuhry – Ali bin Husain – Husein ibn Ali –
Ali ibn Abi Thalib
e. Menurut
Imam Al-Bukhari, adalah Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’ mawla Ibn Umar, Ibn
Umar.
Berdasarkan perbedaan seperti ini, Abu
‘Abdillah Al-Hakim mengatakan bahwa dasar penetapan “ashahh al-asanid” ada yang
mengkhususkan sahabat tertentu dan adan yang megkhususkan kepada daerah
tertentu.
2. ahsanul al-asanid, yakni rangkaian sanad
yang tingkatannya dibawah tingkat pertama di atas, seperti hadis yang
diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Sabit dari Anas
3. adh’aful al-asanid,
yakni rangkaian sanad hadis yang tingkatannya kedua, seperti hadis riwayat
Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah.
D. Bab-bab dalam Kitab Shahih al- Bukhari dan
Shahih Muslim
Bab-bab dalam Kitab Shahih al-Bukhari:
1.
Bad’ul
al-wahyi 31. Shalat al-tarawih
2.
Al-iman 32. Fadl lail al-qadr
3.
Al-‘ilm 33. Al-i’tikaf
4.
Al- wudlu’ 34. Al-buyu’
5.
Al-ghusl 35. Al-salam
6.
Al-haidl 36. Al-suf’ah
7.
At-tayammum 37. Al-ijarah
8.
Al-shalat 38. Al-hiwalah
9.
Mawaqit
al-shalat 39. Al-kafalah
10. Al-adzan 40. Al-wakalah
11. Al-jumu’ah 41. Al-hartsu wa al-muzaraah
12. Shalat al-khauf 42. Al-syurbu wa al-musaqah
13. Al-idain 43. Al-istiqradl
14. Al-witr 44. Al-khusumat
15. Al-istisqa’ 45. Al-luqathah
16. Al-kusuf 46. Al-madlalim wa al-ghashbu
17. Sujud Al-qur’an 47. Al-syirkah
18. Taqshir al-shalat 48. Al-rahnu
19. At-tahajjud 49. Al-‘itqu
20. Fadl al-shalat fi masjid 50.
Al-mukatabah
makkah wal madinah 51.
Al-hibbah
21. Al amal fi al-shalat 52. Al-syahadah
22. Al-sahwu 53. Al-shulhu
23. Al-janaiz 54. Al-Syuruth
24. Al-zakat 55. Al-washaya
25. Al-haji 56. Al-jihad wa al-sair
26. Al-umrah 57. Faradh al-khumus
27. Al-muhshir 58. Al-jizyah wa al-muwadaah
28. Jaza’al shaid 59. Bad’u al-khalqi
29. Fadlail al-madinah 60. Al-anbiya’
30. Al-shaum 61. Al-manaqib
62.
Fadlail al-shahabah 80.
Al-dawaat
63.
Manaqib al-anshar 81.
Al-riqaq
64.
Al-maghazi 82.
Al-qadru
65.
Tafsir al-qur’an 83.
Al-aiman wa al-nudzur
66.
Fadlail al-qur’an 84.
Al-kafarat
67.
Al-nikah 85.
Al-faraidl
68.
Al-thalaq 86.
Al-hudud
69.
Al-nafaqat 87.
Al-diyat
70.
Al-ath’imah 88.
Istitabat al-murtaddin
71.
Al-aqiqah 89.
Al-ikrah
72.
Al-dzabaih wa al-shaid 90.
Al-hiyal
73.
Al- adlahi 91.
ta’bir al-ru’ya
74.
Al- asyribah 92.
Al- fitan
75.
Al-Mardla 93.
Al-ahkam
76.
Al-thibb 94.
Al-tamanni
77.
Al-libas 95.
Akhbar al-ahad
78.
Al-adab 96.
Al-itisham bi al-kitab wa al-sunnah
79.
Al-isti’dzan 97.Al-
tauhid[15]
Bab-bab dalam
Kitab Shahih Muslim:
1.
Al-iman 15.
Al-hajj
2.
At-thaharah 16.
Al-nikah
3.
Al-haidl 17.
Al-radla’
4.
Al-shalat 18.
Al-thalaq
5.
Al-masjid
wa mawadli’ Al-shalat 19.
Al-li’an
6.
Shalat
al-musafirin wa qashriha 20.
Al-‘itq
7.
Al-jumu’at 21.
Al-buyu’
8.
Al-idain 22.
Al-musaqah
9.
Al-istisqa’ 23.
Al-faraidl
10.
Al-kusuf 24.
Al-hibbaat
11.
Al-janaiz 25.
Al-washiyyat
12.
Al-zakat 26.
Al-nudzur
13.
Al-shiyam 27.
Al-aiman
14.
Al-i’tikaf
28.
Al-qasamah wa al-muhabirin 41.
Al-syi’r
Wa al-qishash 42. Al-ru’ya
29. Al-hudud 43.
Al-fadlail
30.
Al-uqdliyah 44.
Fadlail al-shahabah
31.
Al-luqathah 45.
Al-birru wa al-shilah wa al-aadab
32. Al-jihad
wa al-sair 46.
Al-qadr
33.
Al-imarah 47.
Al-‘ilm
34. Al-sahid
wa al-dzabaih 48.
Al-dzikru wa al-du’a’
35.
Al-adlahi 49.
Al-taubah
36.
Al-asyribah 50.
Shifat Al-munafiqin
37. Al-libas 51.
Al-jannah
38. Al-aadab 52.
Al-fitan
39. Al-salam 53.
Al-zuhd
40. Al-fdhun
min al-adab 54.
Al-tafsir[16]
E.
Kitab
Shahih Al-Bukhari dan Shahih muslim Belum Mencakup Semua hadis dan Riwayat yang
Shahih
Kitab shahih al-Bukhari sebenarnya belum mencakup
seluruh hadis shahih. Hal ini sudah dijelaskan sendiri oleh al-Bukhari. Dia
berkata ”Aku tidak memasukkan kedalam kitab Al-jami’u Al-shahihu ini
kecuali hadis yang shahih saja, dan aku tinggalkan hadis-hadis lain yang shahih
karena sesuatu hal atau karena terlalu banyak.” Dalam riwayat lain disebutkan,
“Dan aku meninggalkan pula hadis-hadis yang shahih ini sehingga tidak terlalu
panjang”.
Di dalam Fathu Al-mughits, Al-Sakhawi berkata,
“Bahwasanya al-Bukhari dan Muslim tidak memasukkan semua hadis shahih ke dalam
kitab shahihnya. Bahkan, jika dikatakan bahwa kedua kitab shahih al-Bukhari dan
Muslim mencakup semua hadis shahih menurut syarat-syarat keduanya,maka perkataan
itu lebih terarah, karena masing-masing dari kedua imam itu telah menjelaskan,
bahwa mereka tidak memasukkan semua hadis shahih, sebagaimana pernyataan Imam
Muslim sendiri, “Tidak semua hadis shahih yang ada padaku aku letakkan dalam
kitabku ini, melainkan aku meletakkan hadis-hadis yang sudah disepakati
keshahihannya.”
Para ulama meriwayatkan, dari Muslim, “Bahwa
orang-orang telah mengkritik usahanya menghimpun hadis shahih dalam kitab
shahihnya. Mereka mengatakan, bahwa dengan usahanya itu sama halnya dia memberi
peluang kepada para ahli bid’ah untuk mendapatkan argumentasi pilihan,
di mana ketika mereka diserang dengan suatu hadis, mereka akan mengatakan,
bahwa hadis itu tidak terdapat dalam kitab shahih.” Imam Muslim menjawab,
“Bahwa semua hadis yang aku riwayatkan di dalam kitabku ini adalah shahih, dan
aku tidak mengatakan, hadis-hadis yang tidak aku riwayatkan di dalam kitabku
ini tidak mempunyai nilai shahih.”
Ibnu Al-Shalah berkata, “Kitab Al-Mustadrak,
karangan Al-Hakim, adalah sebuah kitab yang besar sekali, berisi banyak hadis
yang tidak disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim, meskipun sebagian hadis-hadis
itu masih menjadi pembicaraan, namun di antara hadis-hadis itu banyak juga yang
benar-benar shahih.” [17]
F.
Sistem
Para Penyusun Kitab Hadis dalam Menyebutkan Nama Rawi
Suatu hadis terkadang mempunyai banyak sanad. Misalnya
ada sebuah hadis di samping terdapat dalam shahih Bukhari juga terdapat dalam
shahih Muslim, juga dalam sunah Abu Dawud, Musnad Imam Ahmad dan lain-lain
sebagainya. Untuk menghemat mencantumkan nama-nama rawi yang banyak jumlahnya
tersebut, penyusun kitab hadis biasanya tidak mencantumkan nama-nama itu
seluruhnya, melainkan hanya merumuskan dengan bilangan yang menunjukkan banyak
atau sedikitnya rawi pada akhir isi hadisnya. Misalnya rumusan yang diciptakan
oleh Ibn Isma’il As-san’ani dalam kitab Sulubus Salam:
1.
اخرجه
السبعة
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari,
Imam Muslim, Abu Dawud, At- Tirmidzi, An-nasa’i, dan Ibnu Majah.
2.
اخرجه
الستة
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh enam orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut di
atas selain Imam Ahmad.
3.
اخرجه
الخمسة
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh lima orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut di
atas, dikurangi Bukhari dan Muslim.
4.
اخرجه
الاربعه واحمد
Maksudnya:
hadis tersebut diriwayatkan oleh para ashabus sunan yang empat di tambah Imam
Ahmad.
5.
اخرجه
الاربعه
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh para ashabus sunan yang empat, yaitu: Abu Dawud,
At-tirmidzi, An-nasa’i, dan ibnu Majah.
6.
اخرجه
الثلاثة
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi, yaitu Abu Dawud, At-tirmidzi, dan
An-nasa’i
7.
اخرجه
الشيخان
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan kedua Imam Hadis, yakni Bukhari dan Muslim.
8.
اخرجه
الجماعة
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh rawi- rawi hadis yang banyak sekali jumlahnya.
Adapun rumusan yang dikemukakan oleh Mansur Ali Nasif
dalam kitabnya At-taj’ul Jami’ lil Ushul, juz 1 halaman 1 sebagai berikut:
1.
رواه
الشيخان
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan kedua Imam Hadis, yakni Bukhari dan Muslim.
2.
رواه
الثلاثة
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
3.
رواه
الاربعه
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi tersebut di atas, ditambah
At-tirmidzi.
4.
رواه
الخمسة
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh empat orang rawi di atas, ditambah An- nasa’i.
5.
رواه
اصحاب السنن
Maksudnya:
hadis itu diriwayatkan oleh tiga orang pemilik kitab-kitab sunan, yakni Abu
Dawud, At-tirmidzi, dan An-nasa’i.
Imam As-syaukani dalam kitabnya Nailul Autar juz 1
halaman 22 mengemukakan rumusan yang berbeda dengan rumusan-rumusan tersebut di
atas, misalnya متفق عليه Maksudnya: hadis itu
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad. Sedangkan kalau
hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, di rumuskan
dengan اخرجه البخارى ومسلم [18]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama lengkap Imam Al- Bukhari ialah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al- Ju’fi Al-Bukhari, dilahirkan
pada hari Jum’at malam tanggal 13 Syawal 194 H. Beliau menyusun kitab yang
diberi nama “Al- Jami’u Al- Shahihu Al- Musnadu Al- Mukhtasharu min Hadiitsi
Rasuulillah wa Sunanihi wa Ayyaamini”. Kriteria hadis yang terdapat pada
kitab Shahih Al Bukhari meliputi, sanadnya harus muttashil, rawi- rawinya adil dan dhabit.
Nama lengkap Imam Muslim
ialah Abu Al- Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al- Qusyairi Al- Naisaburi,
beliau lahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. Shahih Muslim merupakan kitabnya yang popular di seluruh dunia dan
namanya terkenal di mana- mana, yang di dalam kitabnya itu dia menghimpun
sebanyak 12.000 hadits yang diseleksinya dari 300.000 hadits. Syarat- syarat keshahihan hadis menurut Imam Muslim tidak jauh berbeda dengan
syarat-syarat yang dikemukakan oleh Imam al-Bukhari, yang membedakan hanya
terletak pada kemuttashilan sanad.
B.
Saran.
Demikianlah hasil
makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pembuatan
makalah selanjutnya yang lebih baik .
DAFTAR
PUSTAKA
M. Alwi Al- Maliki. Ilmu
Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2006.
Umar. Ilmu Hadits. Kudus: Nora Media Interprise. 2011
http://kriteria hadis shahih dalam kitab
imam muslim. diakses pada tanggal 08 Maret 2014 jam 11.50
Munzier Suprapta. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.
Hj. Masfu’ah. Modul Al-Qur’an dan Hadis MA NU
Mu’allimat kelas
[1] M. Alwi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 256- 257
[7] http://kriteria hadis shahih dalam kitab
imam muslim, diakses pada tanggal 08 Maret 2014 jam 11.50
[9] Drs. H. Umar, Lc, M.Ag. op.cit., hlm. 120.
[12]Ibid.,hlm. 29-31.
[15] Umar, Ilmu Hadits, Kudus, Nora Media Interprise, 2011, hlm.
157-159
[16] Ibid., hlm. 160-161
[17] M. Alwi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006, hlm. 273-275
Tidak ada komentar:
Posting Komentar