METODE DISKUSI DAN TANYA JAWAB
Makalah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Tafsir
Dosen Pengampu:
Drs. Zumrodi, M. Ag

Disusun Oleh :
1.
Rani Qoimatus Salafiyah : 1310210009
2.
Tri Bowo Krismawanto : 1310210020
![]() |
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana metode diskusi dalam Al- Qur’an?
2.
Bagaimana metode tanya jawab dalam Al- Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metode Diskusi dalam Al- Qur’an
Teknik
diskusi akan membawa kepada penarikan deduksi yang secara nyata merupakan unsur
dalam sebuah diskusi. Kendatipun demikian, pendidikan tidak hanya terbatas pada
Al- Qur’an yang bisa didiskusikan, sebaliknya dapat di peroleh dimana situasi-
situasi kesimpulan dapat diambil, atau asas pokoknya sudah diteliti terlebih
dahulu dengan obyek- obyek yang demikian banyak, atau melalui fakta- fakta yang
telah dikemukakan. Unsur umumnya diteliti pada saat terdapat fakta- fakta yang
berbeda- beda, kemudian atau satu dipisahkan.
Ayat Al- Qur’an di bawah ini memperlihatkan bagaimana Ibrahim mengikuti
pemikiran deduksi untuk mencapai kesimpulan, bahwa sungguh yang ada di dalam
ini hanyalah Tuhan semata Q.S. Al- An’am ayat 67 menyebutkan firman Allah:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا
رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
“Tatkala datang malam menyelimutinya, ia melihat bintang. Maka ia
berkata, “Apakah ini Tuhanku?” namun setelah bintang itu menghilang, dia
berkata: “Aku tidak suka kepada yang hilang”.[1]
Dalam peristiwa
yang sama juga didapatkan ketika ia melihat matahari dan rembulan yang
dilihatnya jauh lebih besar ketimbang bintang- bintang. Maka Ibrahim melihat,
bahwa unsur umum pada ketiga obyek penyelidikan dalam pemikirannya dapat timbul
dan menghilang. Oleh karena pertanda inilah, tampaknya mengarah kepada
perubahan pemikiran yang tidak mungkin dapat dideduksikan bahwa tidak satupun
benda- benda yang dilihatnya itu dapat menjadi Tuhan yang pantas disembah.
Pernyataan “inilah
Tuhanku” yang diisyaratkan kepada Ibrahim telah memberikan tafsiran yang
berbeda- beda menurut satu pandangan, Ibrahim yang secara faktual telah
tertarik dengan objek- objek di atas, yang pantas dijadikan Tuhan sebelum
dideduksikannya yang membawa kearah Tawhid . Thabari mengakui tafsiran
ini, sementara Razi mengemukakan cara pandang yang tidak sama. Tafsiran kedua
menyatakan, bahwa pernyataan Ibrahim tersebut untuk mengungkapkan pengakuan
kepercayaan penyekutuan Tuhan secara jelas kepada Allah, agar dapat memperkenalkan
pandanagan kepercayaan Tawhid yang benar sebagai argumen untuk kaumnya yang
berkepercayaan syirik tersebut. Apabila kita terima tafsiran pertama, maka
deduksi tersebut memberi pengertian bahwa Ibrahim telah membawa kepada
pemikiran Tauhid. Sementara itu, apabila kita kita terima tafsiran kedua, maka
deduksi yang digunakan itu untuk meyakinkan orang lain, kaum Nabi Ibrahim As.
Dengan demikian, deduksi dalam kedua tafsiran tersebut diorganisir sebagai
sebuah metoda yang mengarah kepada penemuan kebenaran.
Dalam pendidikan,
deduksi merupakan suatu metoda pemikiran logis yang amat bermanfaat. Fakta ini
menjadi lebih jelas ketika harus diingat, bahwa bidang pengetahuan dari fakta-
fakta yang tersebar- luas dari sana- sini ternyata tidak membentuk intisari
pokok pengajaran. Formulasi dari suatu prinsip umum di luar fakta ternyata
lebih berguna, sebab murid akan dapat membandingkan dan menyusun konsep-
konsep. Namun pada saat konsep- konsep atau elemen- elemen yang ada itu
terlepas kaitannya, maka murid tidak sama dalam mencapai tujuan yang
diharapkan. Hal ini mendorong agar guru dapat memainkan peranannya dalam
mengembangkan pendidikan dengan menyediakan fakta- fakta kepada murid-
muridnya, atau menyediakan materi- materi yang diperlukan, serta memberi kesempatan
agar murid- murid dapat menemukan prinsip dasar umum. Dalam situasi- situasi
dimana murid- murid hanya mengandalkan kemampuan coba- salah, atau ketika
penemuan prinsip- prinsip umum itu sama sekali tidak di dapatkan, seperti kasus
yang terjadi pada kaum Nabi Ibrahim, guru dapat mengambil inisiatif dan
menunjukkan bagaimana caranya untuk dapat menemukan kesimpulan.[2]
Dalam surat An- Nahl ayat 125 dijelaskan :
ادْعُ إِلِى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ringkasnya
ayat tersebut menyuruh agar Rasulullah menempuh cara berdakwah dan berdiskusi
dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk (al-Hidayah) dan kesesatan
(al-dlalal) serta hal-hal yeng terjadi di antara keduanya sepenuhnya
dikembalikan kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang lebih mengetahui keadaan
orang-orang yang tidak
dapat terpelihara dirinya dari kesesatan, dan mengembalikan dirinya kepada
petunjuk.[3]
B.
Metode Tanya Jawab dalam Al- Qur’an
Dalam surat An- Nahl ayat 125 di atas juga menerangkan tentang
perintah agar Rasulullah menyeru dan mengajak umat manusia itu kepada agama Allah dengan
cara kebijaksanaan dan pengajaran yang baik. Bersoal-jawablah dengan mereka itu
dengan jalan yang sebaik-baiknya, yaitu dengan lunak lembut dan keterangan yang cukup, sehingga memuaskan hati mereka dan menghilangkan segala keraguannya. Allah
lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan agama-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.[4]
Mempertanyakan hal- hal merupakan metoda lain di dalam Al- Qur’an.
Pertanyan- pertanyaan yang diajukan mungkin dalam rangka pengajuan kembali
kepada statemen atau mungkin diajukan sebagai titik permulaan. Dalam surat Al-
Baqarah (2) : 30 pertanyaan malaikat, “Apakah Engkau hendak menciptakan makhluk
yang akan membuat kerusakan di muka bumi?” pertanyaan ini merupakan respon malaikat
atas pemberitahuan Allah tentang akan diciptakan khalifah di muka bumi. Maka
hadirlah pertanyaan kepada Iblis setelah menolak beresujud menghormati Adam
sebagai khalifah. Pertanyaan yang di maksudkan termaktub dalam Al- Baqarah (2)
: 260, “Apakah engkau tidak percaya?” pertanyaan ini dialamatkan kepada Ibrahim
setelah menanyakan bagaimana Allah menghidupkan makhluk- makhluk yang sudah
mati. Dalam Tha-ha (21) : 52, Ibrahim bertanya kepada ayahnya dan kaumnya:
Apakah manfaat berhala- berhala yang selalu di sembah itu?” Dialog dalam tanya
jawab ini juga terjadi antara Allah dan malaikat, Allah dan manusia, serta
antara manusia dengan manusia. Dengan melihat hal ini, maka acuan tanya dan
jawab membentuk suatu unit (kesatuan) yang sempurna dalam penyelesaian masalah-
masalah. Apa yang kemudian menjadi jawaban setelah adanya pertanyaan, bukan
merupakan persoalan pokok bagi pemahamannya akan pertanyaan, sungguhpun mungkin
saling berhubungan.
Tipe pertanyaan
surat Tha- ha (21) : 52 berbeda dengan pertanyaan yang diajukan pada ketiga
pertanyaan pada ayat pertama. Dalam surat Tha- ha, pertanyaan dilontarkan
sebagai langkah yang dimaksudkan untuk menjawab peran dialogis. Pertanyaan
dilontarkan kemudian jawaban diberikan dan hal ini secara final mengacu kepada
penemuan kebenaran. Ayat- ayat Al- Qur’an berikut ini mengungkap hubungan-
hubungan Nabi Ibrahim dengan kaumnya, adalah contoh yang baik sekali dalam
peristiwa dialogis yang dimaksudkan sebagai metoda mencari kebenaran. [5]
Dan ingatlah
ketika Ibrahim berkata kepada Ayahnya dan kepada kaumnya: “Apakah manfaat
berhala- berhala yang engkau sembah?”. Mereka menjawab: “Kami dapati bapak-
bapak kami menyembah mereka”.
Ibrahim berkata : “Sesungguhnya kamu dan bapak-
bapak kamu dalam kesesatan yang nyata”.
Mereka berkata : “Apakah kedatanganmu kepada kami
sungguh- sungguh membawa kebenaran?”
Ibrahim
menjawab : “Bahkan Tuhan kamu yang
sebenarnya adalah Tuhan bagi langit dan bumi”.
Dan demi Allah aku hendak melakukan tipu daya kepada berhala-
berhala kamu setelah kamu berpaling. Lalu ia jadikan berhala- berhala itu
berkeping- keping.
Mereka bertanya :
“Siapakah yang membuat kerusakan terhadap Tuhan kami?”
Mereka berkata : “Kami dengar seorang pemuda
(Ibrahim) yang mencela tuhan- tuhan kami”.
Mereka berkata : “Maka bantahlah ia di hadapan orang
banyak, supaya mereka saksikan”.
(Q.S.
Tha- ha (21) : 52- 67).
Dalam dialog
tersebut, pertanyaan pertama yang muncul dalam ayat 52 bertujuan agar dapat
mengungkapkan atau mendefinisikan keimanan mereka, kaum Nabi Ibrahim. Kemudian
langkah pertama ini membuat mereka sadar akan situasi yang ada. Agar mereka
dapat menemukan kepercayaan mereka yang tidak benar itu maka perlu mereka
memberi jawaban atas pertanyaan mereka berkenaan dengan orang yang merusak
berhal- berhala yang mereka sembah. Malahan mereka mempertanyakan terus, dan
menunjukkan pertanyaan mereka ke hadapan berhala- berhala yang paling besar.
Tujuan langkah ini adalah membuat mereka bingung. Kemudian tujuan yang hendak
dicapai pada saat mereka mengakui, bahwa berhala yang paling besar itupun tidak
bisa menjawab pertanyaan- pertanyaan yang mereka ajukan. Maka langkah final
berikutnya bertujuan untuk membuat mereka sadar, agar mereka mau merubah
penyembahan berhala- berhala menjadi menyembah Allah. Maka disini nyata, bahwa
kebenaran itu terjawab setelah menjawab adanya pertanyaan dalam Q.S. Tha- ha
(21) : 66:
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكُمْ شَيْئاً
وَلَا يَضُرُّكُمْ
Ia berkata: “Maka apakah (patut) kamu menyembah selain dari Allah,
sesuatu yang tidak bisa sedikitpun memberi manfaat dan tidak bisa memberi mudharat kepada
kamu?"
Keseluruhan dialog
dan tanya jawab dalam ayat- ayat Al- Qur’an, dari pertanyaan terdahulu hingga
pertanyaan terakhir, adalah dilengkapi dengan tujuan yang sangat mirip yang
diekspresikan dalam langkah terakhir dalam pertanyaan. Inilah seharusnya yang
merupakan urutan di dalam diskusi berlangsung.[6]
Pemberian banyak
pertanyaan- pertanyaan yang diberikan secara berurutan itu dengan tujuan
membantu manusia menemukan kebenaran, dan ini juga berdasarkan Hadits Nabi SAW.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa ada seorang laki- laki datang kepada Nabi
SAW untuk mendapatkan bukti, karena dia mempunyai anak yang berkulit hitam atas
perkawinannya, padahal ibunya juga tidak berkulit hitam. Maka jawaban Nabi SAW
sebagaimana dialogi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Nabi SAW : Apakah engkau
memiliki unta?
Si Fulan : ya,
betul.
Nabi SAW : apa warna unta
itu?
Si Fulan : merah.
Nabi SAW : apakah ada
salah satu unta itu yang warnanya abu- abu?
Si Fulan : ya, ada.
Nabi SAW : dari mana unta
abu- abu itu berasal?
Si Fulan : mungkin
karena keturunan (heriditas).
Nabi SAW : barangkali juga anakmu yang terakhir itu
memiliki warna hitam karena keturunan.
Pertanyaan- pertanyaan dari Nabi Muhammad SAW yang berurutan di
atas dimaksudkan untuk menghilangkan keragu- raguan yang dimiliki oleh laki-
laki (ayah) yang diceritakan dalam Hadits Nabi SAW di atas.
Pengujian
pertanyaan- pertanyaan yang di ungkapkan oleh Ibrahim atau Nabi Muhammad SAW
dalam dua contoh itu, memperlihatkan bahwa pada pokoknya bukan mengacu kepada
tujuan memperoleh informasi, bahkan lebih dari itu untuk menolak pemikiran yang
menuntut kepada pemahaman akan persoalan yang sedang menjadi pertimbangan
pemikiran untuk meyakinkan. Pertanyaan- pertanyaan yang diberikan itu pada
dasarnya tidak bersifat spekulatif, bahkan lebih berkaitan dengan obyek- obyek
yang akrab dengan orang yang dimintai jawabannya, dan tidak keluar dari
pengalaman atau dari kemampuan mental orang- orang yang menjawab pertanyaan. Di
sinilah, maka pertanyaan- pertanyaan dapat di anggap sebagai mempunyai tujuan,
memberi kemudahan dan reflektif.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
surat An- Nahl ayat 125 dapat disimpulkan bahwa Allah menyuruh agar Rasulullah menempuh cara
berdakwah dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk (al-Hidayah)
dan kesesatan (al-dlalal) serta hal-hal yeng terjadi di antara keduanya
sepenuhnya dikembalikan kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang lebih mengetahui keadaan
orang-orang yang tidak
dapat terpelihara dirinya dari kesesatan, dan mengembalikan dirinya kepada
petunjuk.
Selain itu, Allah juga menyuruh agar Rasulullah menyeru dan mengajak umat manusia itu kepada agama Allah dengan
cara kebijaksanaan dan pengajaran yang baik. Bersoal-jawablah dengan mereka itu
dengan jalan yang sebaik-baiknya, yaitu dengan lunak lembut dan keterangan yang cukup, sehingga memuaskan hati mereka dan menghilangkan segala keraguannya. Allah
lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan agama-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.
B.
Saran
Demikianlah
hasil makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
pembuatan makalah selanjutnya yang lebih
baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman Saleh Abdullah. Teori- teori Pendidikan Berdasarkan
Al- Qur’an. Jakarta: PT. Rineka
Cipta. 1994.
Abudin Nata. Tafsir ayat- ayat pendidikan.
Mahmud Yunus. Tafsir Quran Karim (Bahasa
Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar