BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi mempunyai peran
sebagai penyampai informasi. Indonesia merupakan salah satu contoh
Negara yang memiliki berbagai macam bahasa, karena Indonesia kaya akan suku
bangsa. Selain kaya akan bahasa yaitu bahasa daerah, Indonesia juga menyerap
bahasa asing dalam bahasa Indonesia. Karena penguasaan beberapa bahasa
tersebutlah Indonesia merupakan salah satu Negara yang biligualisme. Masyarakat
yang menguasai lebih dari satu bahasa, tentu dalam percakapan sehari-hari
sering terdapat interferensi.
Di era
globalisasi yang beriringan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,
bahasa Inggris yang merupakan bahasa Internasional banyak memberikan pengaruh
ke dalam bahasa percakapan sehari-hari warga Indonesia, baik dalam penggunaan
bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Pengaruh bahasa lain dalam bahasa inti yang
digunakan merupakan suatu kesalahan atau kekeliruan, kekeliruan inilah yang
disebut dengan interferensi.
Pada
pembahasan kali ini akan dibahas mengenai interferensi bahasa Inggris dalam
penggunaan bahasa Jawa yang terjadi pada percakapan keseharian warga desa
Krandon. Desa Krandon terletak di kota Kudus, Jawa Tengah. Warga desa Krandon
yang merupakan penduduk pulau Jawa, sudah pasti menggunakan bahasa Jawa sebagai
bahasa komunikasinya sehari-hari. Namun karena pengaruh kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi yang serba menggunakan bahasa Inggris, maka penggunaan
bahasa Jawa tersebut lama-kelamaan menjadi terpengaruh dengan penggunaan bahasa
Inggris.
Dalam
proses ini bahasa yang memberi atau mempengaruhi itu disebut bahasa sumber, dan
bahasa yang menerima disebut bahasa resipien, sedangkan unsur yang
diberikan disebut unsur serapan atau importasi. Jika dikaitkan dengan permasalahan
yang dibahas, maka bahasa Inggris disebut bahasa sumber karena mempengaruhi
penggunaan bahasa Jawa. Dan bahasa Jawa disebut bahasa resipien karena
merupakan bahasa inti yang dipengaruhi oleh bahasa Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Interferensi
Pengertian
Interferensi menurut Weinreich adalah perubahan suatu sistem bahasa sehubungan
dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang
dilakukan oleh penutur yang bilingual. Yang mana penutur bilingual adalah
penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian.[1]
Menurut
Weinrich (1970: 64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
interferensi:
1.
Kedwibahasaan
peserta tutur
2.
Tipisnya
kesetiaan pemakai bahasa penerima
3.
Tidak
cukupnya kosakata bahasa penerima
4.
Menghilangnya
kata-kata yang sering digunakan
5.
Kebutuhan
akan sinonim
6.
Prestise
bahasa sumber dan gaya bahasa
7.
Terbawanya
kebiasaan dalam bahasa ibu[2]
B.
Bentuk-Bentuk Interferensi
Weinreich
membagi bentuk-bentuk Interferensi menjadi empat bagian, antara lain:
1.
Interferensi
dalam Bidang Fonologi
Dalam bahasa Indonesia interferensi pada sistem fonologi dilakukan
misalnya, penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Jawa selalu menambahkan
bunyi dimuka kata-kata yang dimulai dengan konsonan “b,d,g dan j”, misalnya
pada kata Bandung=mBandung, Depok=nDepok, Gombong=ngGombong, Jambi=nyJambi.[3]
2.
Interferensi
dalam Morfologi
Terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks (imbuhan), afiks-afiks
suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Contoh dalam
bahasa arab sufiks –wi dan –ni untuk membentuk adjektif, maka banyak penutur
bahasa Indonesia itu pada kata-kata manusiawi, bahasawi, surgawi, dan
gerejani. Penggunaan bentuk-bentuk kata sepeti ketabrak, kejebak,
kekecilan, dan kemahalan dalam bahasa Indonesia baku juga termasuk
interferensi, sebab imbuhan yang digunakan disitu berasal dari bahasa Jawa dan
dialek Jakarta. Bentuk yang baku adalah tertabrak, terjebak, terlalu kecil dan
terlalu mahal.[4]
3. Inteferensi dalam Bidang Sintaksis
Struktur kalimat dalam bahasa Indonesia,
“Makanan itu telah dimakan oleh saya” adalah dipengaruhi oleh bahasa Sunda,
karena kalimat Sundanya adalah “Makanan teh atos dituang ku abdi”. Dalam bahasa
Indonesia baku susunannya haruslah menjadi, “Makanan itu telah saya makan”.
Perhatikan contoh berikut ini:
“Mereka akan married bulan depan”.
Contoh
tersebut juga dapat dikategorikan sebagai campur kode. Perbedaannya adalah
campur kode mengacu pada digunakannyaserpihan-serpihan bahasa lain dalam
menggunakan suatu bahasa tertentu, sedangkan interferensi mengacu pada adanya
penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dan memasukkan sistem bahasa lain,
yang bagi golongan puris dianggap sebagai kesalahan.[5]
4.
Interferensi
dalam Bidang Leksikal
Interferensi dalam bidang leksikal
terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam peristiwa tutur memasukkan leksikal
bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau sebaliknya. Dalam hal interferensi
leksikal terdapat lima kelas kata yaitu: [6]
a.
Kelas
kata verba
BMK
|
|
BI orang Minagkabau
|
|
[Mananih]
|
|
[Menanis]
|
‘Menangis’
|
b.
Kelas
kata adjektiva
BMK
|
|
BI orang Minagkabau
|
|
[Lita]
|
|
[Lita]
|
‘Letih’
|
c.
Kelas
kata nomina
BMK
|
|
BI orang Minagkabau
|
|
[Terompa]
|
|
[Terompa]
|
‘Sandal’
|
d.
Kelas
kata promina
BMK
|
|
BI orang Minagkabau
|
|
[Awak]
|
|
[Awak]
|
‘Saya’
|
e.
Kelas
kata numeralia
BMK
|
|
BI orang Minagkabau
|
|
[Salapan]
|
|
[Salapan]
|
‘Delapan’
|
5.
Interferensi
dalam Bidang Semantik
Interferensi dalam tata makna dapat dibagi menjadi tiga
bagian:
a.
Interferensi perluasan makna atau expansive
interference, yakni peristiwa penyerapan unsur- unsur kosakata ke dalam
bahasa lainnya. Misalnya konsep kata democration menjadi
Demokration dan demokrasi.
b.
Interferensi penambahan makna atau additive
interference, yakni penambahan kosakata baru dengan makna yang agak khusus
meskipun kosakata lama masih tetap dipergunakan dan masih mempunyai makna
lengkap. Misalnya kata gelandangan menjadi tunawisma dan tahanan menjadi
narapidana.
c.
Interferensi penggantian makna atau replasive
interference, yakni interferensi yang terjadi karena penggantian kosakata
yang disebabkan adanya perubahan makna seperti kata saya yang
berasal dari bahasa melayu sahaya.
BAB III
DATA DAN ANALISA
A. Data
Percakapan berlangsung di rumah salah satu
penjahit yang ada di desa Krandon antara Anggi (yang akan menjahitkan baju),
Niken (teman Anggi), dan Ibu Chalimah (yang menjahit baju). Percakapan terjadi
ketika Anggi dan Niken pergi kerumah Ibu Chalimah yang berada di desa Krandon
untuk menjahitkan baju.
Anggi : “Buk, badhe jahitke long dress kaleh blazer.”
Ibu Chalimah : “Dwetmu kok gak entek-entek tuku kain
terus.”
Niken : “Geh buk, piyambake niku
hobine shopping terus kok buk.”
Anggi : “Niki mpun tak tumbaske kain kombinasi, mpun matching
ra buk?”
Ibu Chalimah : “Terus iki mbok gawe model piye?”
Anggi : “Niki mpun gadah gambar model teng handphone.”
Ibu Chalimah : “Modele kok angel.”
Anggi : “Model blazer niki kan nembe dados trend
buk.”
B. Analisa
Melihat pada data yang telah
dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa banyak terdapat interferensi
dalam percakapan antara Anggi, Niken dan Ibu Chalimah. Bedasarkan data
percakapan yang ada, banyak ditemukan interferensi bahasa Inggris ke dalam
bahasa Jawa, yaitu kata long dress, blazer, shopping, matching, handphone, dan
trend yang merupakan kosakata bahasa Inggris.
Kata long dress dalam
bahasa Inggris berarti gaun yang panjang, yang dalam bahasa Jawa sama artinya
dengan gamis. Pembicara menggunakan kata long dress dalam percakapannya dikarenakan di zaman
globalisasi seperti sekarang ini lebih sering gamis lebih sering disebut dengan
istilah long dress, sehingga pembicara kesulitan untuk menemukan padanan
kata long dress dalam bahasa Jawa.
Kata blazer dalam bahasa Jawa
dikenal dengan sebutan rompi. Kata shopping merupakan kata kerja bahasa
Inggris yang dalam bahasa Jawa memiliki arti belanja atau tuku. Sedangkan kata matching dalam bahasa indonesia
berarti senada, yang cukup sulit untuk ditemukan padanan katanya dalam Bahasa
Jawa. Kata handphone merupakan kata benda bahasa Inggris yang dalam
bahasa Indonesia memiliki arti telepon genggam. Dan kata trend adalah
salah satu kosa kata bahasa Inggris yang telah diserap oleh bahasa Indonesia
dan berintegrasi menjadi salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesia yaitu
“tren”.
Sama halnya dengan penggunaan kata
long dress, penggunaan kata blazer, shopping, matching, handphone, dan
trend dalam percakapan tersebuh juga dipengaruhi oleh faktor ketidak tahuan
pembicara tentang padanan katanya dalam bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan
lebih seringnya digunakan kosakata bahasa Inggris tersebut dibandingkan dengan
menggunakan kosakata aslinya dalam kehidupan sehari-hari.
Interferensi yang terjadi dalam
percakapan diatas tergolong ke dalam bentuk interferensi dalam bidang Leksikal, yaitu apabila seorang dwibahasawan dalam peristiwa tutur memasukkan
leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau sebaliknya. Jika dikaitkan
pada data percakapan diatas, maka dapat diketahui bahwa terjadi interferensi
dalam bidang leksikal berupa pemasukan leksikal (kosakata) bahasa Inggris ke
dalam bahasa jawa.
Interferensi
dalam bidang leksikal, dapat diklasifikasikan menjadi lima kelas kata, yaitu
kelas kata verba (kata kerja), kelas kata adjektiva (kata sifat), kelas kata
nomina (kata benda), kelas kata pronomina (kata ganti), dan kelas kata
numeralia (kata bilangan).
Dalam
kaitannya dengan percakapan di atas, maka kata long dress, blazer, dan handphone dapat digolongkan ke dalam
interferensi leksikal pada kelas kata nomina karena berupa kata benda.
Sedangkan kata matching dan trend dapat
digolongkan ke dalam interferensi leksikal pada kelas kata adjektiva karena
berupa kata sifat. Dan kata shopping
dapat digolongkan ke dalam interferensi leksikal pada kelas kata
verba karena berupa kata kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer dan Leoni
Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta,
2010.
Aslinda dan
Leni Syafyahya, Pengantar sosiolinguistik, Bandung: PT Refika Aditama, 2010.
Mahardi dan
Kunjana, Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
[1] Abdul Chaer
dan Leoni Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta:
Rineka Cipta, 2010. Hlm. 120.
[3] Abdul Chaer
dan Leoni Agustina, Op. Cit., Hlm. 122-123.
[4] Ibid.,
Hlm. 123.
[5] Ibid.,
Hlm. 123-126.
[6]Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar sosiolinguistik, Bandung:
PT Refika Aditama, 2010, Hlm. 73-74.